aku masih butuh fakta ungkapan daripada keajaiban puitik

imin merengas pantek; kata itu pun pamungkas
samar-samar tapi pasti, mengusik kaidah

dewan sastra mengakuinya
pantek jadi indeks perangai-perangai
yang sejak lama dicibir norma
perangai-perangai yang “...kacau balau,”
kata rengganis

pantek menyelip di dalam cerita-cerita imin
yang puitik; berniat jadi obat

“Obat mabuk!?” tebakmu...?
bukan.
“Obat bagi jiwa-jiwa yang ingin mati,” jawab imin.

pantek = renungan

sementara itu, aku melihat
(
dengan duga-duga kekhawatiran
)
,
apakah gara-gara imin bilang pantek
caci-maki bisa jadi tengah disekulerisasi,
dirasionalisasi, dengan logika sastra?

imin jelas sudah
membongkar sejarah kebahasaan sebuah kata,
demi menemukan alteritas fungsinya.

pada imin
kebajikan naratif lantas memenuhi penggubahan sajak
dan caci-maki jadi petuah justru berkat keajaiban puisi.

tapi aku masih butuh
fakta ungkapan daripada keajaiban puitik;

aku masih butuh
fenomena makian daripada semantika sastrawinya.

karena pantek sekarang ini
pelan-pelan mulai dicerabut dari lingkaran tindak tutur
dan akan duduk nyaman di bangku puisi prosaik
dalam sikap-sikap afirmatif kepenyairan
sebagai representasi
“pengucapan dari suara-suara
di kondisi yang babak belur,”
kata imin,
tinggalah aku,
yang masih akan tetap hadir di sini,
bertiga saja
bersama dua
dari sekian banyak sejawat si pantek:
ngentot dan tai.

tetap awam, kami—aku, ngentot, tai—
ingin terus merayakan fakta ungkapan;
fakta makian.

berita-berita dalam dunia hari ini emang ngentot!!!
taaaaaeeeeeeeeeekkkkk!!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *