menuju puisi sangkil

untuk apa

saya berulah menyapa

dengan sajak belaka

memperindah kata

memainkan metafora

untuk Anda?

penyakit pujangga

pada hari ini

adalah megalomania;

aku yang basi

baitku baitmu bukan sabda nabi;

kataku katamu bukan nukilan sufi;

amatanku amatanmu bukan terawang ahli.

hanya ujaran dengan jemawa menjadi-jadi

di masa ketika kesusastraan

rusak oleh kepongahan 

— sebagian malah berujung selangkangan

sajak sejati hanyalah makian

kami butuh puisi yang sangkil, bukan syair-syair muskil

biarlah kalimat di sini banal,

asal sadar menolak aparatus intelektual yang menyebar pepatah barunya untuk mendalih kuasa

lewat citra kepujanggaannya yang sok menyapa kelas masyarakat mana saja;

yang merasa tampil bijak mengungkai kata-kata perangsang emosi

dan percaya diri dengan permainan sintaksisnya sendiri

untuk apa kata-kata itu,

dalam bentuk sajak yang kau anggap jitu,

menyapa kami yang tak mau tahu

apa keluh-kesahmu…?

kata-kata indah yang kau ungkapkan tidak membuatku sembuh dari kelaparan.

hiduplah puisi yang sangkil!

dan puisi sangkil hanyalah makian;

kutukan bagi kepura-puraan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *