Ipank Hore Hore sebagai musisi Betawi telah dikenal luas melalui konsistensinya melahirkan karya di media sosial. Ia adalah seorang seniman asal Depok yang menjadikan musik sebagai alat untuk menyampaikan keresahan, menjaga budaya Betawi, dan memperjuangkan nilai-nilai yang ia yakini. Saya mencoba menghubunginya, dan tak disangka, ia malah datang bertamu ke rumah saya dengan membawa ‘seserahan’. Sebuah gestur hangat yang lama tak saya jumpai, seakan-akan keramahan itu telah melekat dalam darahnya. Dengan tawa dan blak-blakannya, ia menjadikan pertemuan itu lebih dari sekadar silaturahmi tapi juga perayaan kecil atas kebersamaan visi. Saya dalam hati: Betawi sekali, beliau ini. Saya mengemas perjalanan kariernya yang penuh dengan lika-liku, dari ‘ngamen’ di jalanan hingga mampu berdiri membawa semangat Betawi di panggung-panggung besar.

Musik Sebagai Pilihan dan Identitas
Sejak awal, jauh sebelum debut album Rongseng: Rombongan Orang Senang rilis, Ipank tidak pernah terpikirkan bercita-cita menjadi musisi. Musik bukanlah ambisi yang dirancang, melainkan medium yang ia temukan untuk mengekspresikan diri. Ia percaya bahwa setiap orang memiliki caranya sendiri dalam berkontribusi terhadap perubahan sosial, dan baginya, musik adalah caranya berbicara, merespons, serta merangkul realitas di sekitarnya. Sebagai orang Betawi yang bertekad menghidupkan budaya, Ipank telah menjadikan musik sebagai bagian dari identitasnya.
“Gue pengen berperan disitu (melestarikan budaya Betawi) kan, yaudah gue ambil perannya lewat lagu. Bukan sok-sokan pengen jadi musisi juga, suara gue jelek kalau gue nyanyi lagu orang lain, kasihan lagu orang jadi jelek. Makanya gue bikin lagu sendiri.” Ucapnya.
Kemasan musiknya yang selalu kental dengan dialek Betawi adalah bentuk perlawanan terhadap homogenisasi budaya modern. Ia percaya bahwa setiap daerah memiliki kekuatan dalam bahasanya, dan menurutnya musik bisa menjadi cara yang paling efektif untuk melestarikannya.
“Anak-anak sekarang lebih gampang akrab sama budaya asing ketimbang budaya sendiri. Gue khawatir budaya kita makin terkikis kalau gak ada yang ngenalin dan jagain. Padahal Betawi mirip banget sama bahasa Indonesia, gue yakin semue orang tanpa mempelajari bahasanye pasti paham dah, akhirnya gue nyoba disana,” katanya.
Pengaruh besar datang dari sosok Benyamin Sueb, yang ia anggap sebagai ikon tak tergantikan. Setelah Benyamin meninggal, musik Betawi masih ada, tetapi yang ia lihat hanya sekadar melakukan cover tanpa menciptakan karya baru. Dari situ, Ipank berusaha menciptakan karya agar budaya Betawi tetap hidup dalam bentuk yang lebih segar dan relevan.
“Pengen gue cuma satu, mengenalkan budaya Betawi lewat cara dan gaya gue.”
Perjalanan musik Ipank tentunya tak melulu mulus. Awal 2007 saat setelah lulus dari sekolahnya, ia harus berjuang keras untuk bertahan hidup, menjalani berbagai pekerjaan untuk sekadar menyambung nafkah. Karena dekat dengan musik, ia pun mengisi hari – harinya mengamen di jalan. Sampai di penghujung 2017, jalanan tampaknya sudah enggan ditapaki kembali, ia bersama gitar kopongnya ditangkap oleh Satpol PP dan dimasukkan ke Dinas Sosial.
“Pas dulu gue kena razia dan dimasukin ke Dinsos, akhirnya gue mutusin untuk berhenti, kagak ngamen di jalanan lagi,” Ujarnya.
Sebelum kejadian razia yang mengubah langkahnya itu, tahun 2013 Ipank sempat aktif menimba ilmu di Teater Ciliwung. Di sana, ia mendalami seni musik, peran, lukis, hingga sastra—sebuah pengalaman yang tidak hanya memperkaya pemahamannya tentang kesenian, tetapi juga membentuk cara ia berkarya dan menjadi ruang eksplorasi yang membuka perspektifnya. Di tahun yang sama, ia mengisi kantongnya sebagai office boy di salah satu rumah sakit Jakarta. Dari pekerjaannya itu, ia menemukan cara lain untuk membawa kebahagiaan, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.
“Dulu gue kerja ditempatin di ruang anak-anak, bukan karena gue rajin nyapu sama rajin ngelap muntahan orang, tapi karena gue bisa becanda sama bocah-bocah pas mau diinfus,” kenangnya.
Salah satu langkah besar dalam perjalanan Ipank adalah ketika menjadi penyiar di Bens Radio. Program “Pos Dongkol” yang ia bawakan menjadi salah satu cara bagi pendengar untuk berinteraksi dan menyampaikan keresahan mereka dengan gaya humor khas Betawi. Pengalaman ini tentunya memperkaya Ipank dalam berkomunikasi dengan audiensnya dan turut memperluas jangkauan karyanya.
Bens Radio sendiri adalah stasiun radio yang digagas oleh Benyamin Sueb di akhir 1980-an. Sedangkan Pos Dongkol yang Ipank bawakan adalah program ikonik Benyamin—membacakan satu persatu surat pos berisikan keluh kesah para pendengar dengan cara jenaka.
Usai dari radio, Ipank memutuskan untuk fokus memanfaatkan media sosial dan jejaring. Ipank konsisten menyebarkan musik dan kontennya hingga berhasil mencipta album debutnya, Rongseng: Rombongan Orang Senang, yang menjadi bukti nyata dari perjalanan panjangnya dalam bermusik. Kini, album yang memuat banyak cerita dan pengalaman hidup selalu ditampilkan dalam berbagai panggung.
Keterlibatan dalam Kolektif, “Pustaka Entong” dan Aktivisme Budaya
Selain bermusik, Ipank sangat aktif mendukung berbagai komunitas. Ia melihat komunitas sebagai wadah penting dalam mempertahankan budaya dan memperjuangkan isu-isu sosial. Keterlibatannya di berbagai ruang komunitas di Depok dan Jakarta membawanya pada pemahaman bahwa menjaga budaya Betawi tidak harus hanya dilakukan dengan cara tradisional seperti tari atau silat, tetapi bisa melalui musik maupun bentuk ekspresi kreatif lainnya.
Salah satu kontribusi besarnya adalah mendirikan Pustaka Entong, perpustakaan jalanan yang ia buat di kampungnya pada tahun 2017—setelah keluar dari Dinas Sosial—sebagai bentuk rasa syukur atas bantuan-bantuan yang selalu datang kepadanya. Ia juga ingin melihat kedua anak kandungnya tumbuh di lingkungan yang baik, dengan akses terhadap bacaan yang bermanfaat.
“Gue bilang ke bini gue, gantian ya, mah, orang-orang kemaren udah banyak bantuin kite, sekarang kite yang bantuin orang, begitu. Gue bikin perpustakaan juga karena gue ngeliat anak sendiri, ya. Main prosotan kejedot. Main ayunan, kepalanya coet kena besi. Wah, gua harus bikin mereka ini lebih aman, gue coba sesuatu yang bermanfaat ke banyak anak-anak sekalian, lah. Pustaka Entong.”
Lebih dari sekadar buku-buku berjejer di ruang terbuka, Pustaka Entong adalah cerminan semangat berbagi yang tumbuh dari pengalaman dan ketulusan—sebuah upaya kecil yang berdampak besar bagi banyak anak di sekitarnya.
Dari sini, kesadaran sosial Ipank semakin terasah. Perspektifnya terhadap berbagai isu pun semakin luas, membawanya mampu bersinergi dengan banyak kolektif. Perjalanannya dalam membangun ruang berbagi ini akhirnya mempertemukannya dengan kawan-kawan aktivis, yang semakin menguatkan langkahnya dalam berkarya dan bergerak untuk perubahan.
Fakta menarik, sebelum sepenuhnya berfokus pada musik, Ipank pernah merintis usaha dekorasi berbahan styrofoam. Namun, perjalanannya membawanya bertemu dengan teman-teman dari NGO, Get Plastic, yang bukan hanya membawa Ipank pada panggung-panggung pertunjukan tapi juga membuka matanya terhadap isu lingkungan.
Kesadarannya semakin tumbuh saat ia memahami bahwa styrofoam adalah material yang sulit terurai dan berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Dari situ, ia mengambil keputusan besar: meninggalkan bisnis dekorasi dan beralih ke jalur yang lebih ramah lingkungan. Langkah ini bukan hanya cerminan kepeduliannya terhadap alam, tetapi juga bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari kesadaran dan keberanian untuk mengambil sikap.
Maka saya berani menyatakan bahwa Lagu Kite Sampah Sebenernye dalam album Rongseng: Rombongan Orang Senang bukan sekadar ungkapan keresahan, tetapi juga perayaan atas perubahan.
Sebuah Refleksi dan Harapan
Perjalanan Ipank Hore Hore menunjukkan bahwa menjadi musisi bukan hanya soal menciptakan lagu, tetapi juga tentang bagaimana musik bisa menjadi alat perubahan. Ia terus berusaha menjaga keseimbangan antara karier dan keluarganya, serta tetap setia pada nilai-nilai yang ia pegang.
“Gue pengen generasi muda terutama di kampungan gue nih, Depok, makin kenal budaya sendiri, bukan malah lebih akrab sama budaya asing. Kalo kita sendiri gak ngerawat, siapa lagi?”
Ke depannya, Ipank berharap musik Betawi bisa terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya. Ia ingin lebih banyak musisi muda yang berani berkarya dengan membawa identitas lokal mereka, bukan hanya mengikuti arus industri. Dengan semangat yang sama, ia akan terus berkarya, menjaga komunitasnya, dan membuktikan bahwa musik bisa menjadi medium untuk merawat budaya, menyuarakan realitas, serta menginspirasi.
Perjalanan Ipank Hore Hore belum selesai. Ia terus berjalan, bernyanyi, dan menyampaikan pesan-pesan yang dekat dengan kehidupan sosial dan jenaka. Dari jalanan hingga panggung, ia tetap berdiri tegak dengan gitar kopongnya, membawa semangat Betawi dalam setiap nadanya.

Helmi Rafi Jayaputra (Depok, 1996) mengambil langkah baru dengan mendirikan Kolase Kultur, sebuah media alternatif di Depok yang berfokus pada seni dan budaya. Kolase Kultur hadir sebagai platform yang menjembatani berbagai ide dan gagasan serta menjadi ruang kolaborasi inklusif antara seniman, kurator dan komunitas. Sebelumnya Helmi bekerja selama 9 tahun sebagai pembuat video dan menyelesaikan beragam proyek dokumenter di berbagai kelembagaan non-profit, diantaranya; Penabulu Foundation (2015) dengan isu mengurangi tingkat emisi karbon dunia, Human Rights Working Group (2018) dengan isu Kebebasan Beragama dalam Hak Kemanusiaan, Sawit Watch (2021) dengan isu perhutanan sosial dan konservasi sawit, dan Pandu Laut Nusantara (2024) dengan isu konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Di ranah perfilman, Helmi terlibat dalam INDICINEMA, jaringan bioskop alternatif Indonesia yang berpusat di Bandung. Sejak 2019, ia turut mendirikan dan mengelola satu-satunya bioskop alternatif di Depok. Saat ini aktif membangun dan menulis di Kolase Kultur.
Tinggalkan Balasan