Merajut Narasi dan Realitas: Cerita Di Balik Lensa Yuda Kurniawan

Dalam lanskap perfilman Indonesia, Yuda Kurniawan dikenal sebagai salah satu sineas yang menekuni dokumenter sebagai medium terbaiknya dalam berkarya. Bukan sekadar merekam peristiwa, jelas. Perspektif mendalam tentang isu sosial, budaya, dan politik sudah menjadi keniscayaan. Namun yang benar-benar memukau adalah bagaimana ia mampu menghadirkan karakter dengan begitu alami, menciptakan kehangatan yang menjembatani kisah dan penonton. Saya selalu penasaran, seolah setiap karakter dengan segala percakapannya itu tanpa jarak—intim, akrab, begitu dekat. Sebagai pendiri Rekam Films, ia telah menghasilkan beberapa dokumenter berpengaruh seperti Nyanyian Akar Rumput yang memenangkan Piala Citra FFI 2018 dan Roda-Roda Nada (JAFF-Indonesian Screen Awards: Best Editing) yang keduanya menggugah kesadaran publik terhadap sejarah dan kehidupan masyarakat pinggiran. Tentunya warga Depok, toh saya menemuinya di kantor Rekam Films, sebuah perjumpaan yang tak hanya membuka obrolan baru, tetapi juga membawa saya bernostalgia pada pertemuan terakhir kami di JAFF 2022.

Ketertarikan Yuda terhadap film dimulai sejak di kampus. Salah satu karya yang mengawali perjalanannya adalah menggarap proyek video tentang wisata Taman Sari pada 2006. Usai menuntaskan studinya, ia merantau ke Jakarta, meniti karier di berbagai rumah produksi sebagai editor maupun asisten sutradara. Salah satu tempat singgahnya adalah Dapur Film, ia sempat bekerja selama beberapa tahun sebagai asisten sutradara Hanung Bramantyo.

Di tengah kesibukannya di industri arus utama, Yuda mulai mencoba mengeksplorasi dunia dokumenter. Dokumenter menawarkan ruang kreatif yang lebih bebas saat itu dibandingkan kejenuhannya memproduksi FTV atau sinetron yang sering kali terintervensi kepentingan komersial.

“Karena dulu masih muda ya, artinya mencoba banyak hal untuk menambah pengalaman. Jadi dulu dokumenter bagiku tuh kayak pelarian ketika jenuh dengan aktivitas atau rutinitas yang monoton gitu.” Ucapnya mengenang masa lalu.

Pada 2015, langkah awalnya di dunia dokumenter dimulai dengan Masih Ada Asa, sebuah film yang mengisahkan pengalaman dua perempuan korban kekerasan seksual.

Tiga tahun berselang, Yuda merilis Nyanyian Akar Rumput yang menelusuri kehidupan Fajar Merah, putra dari penyair dan aktivis Wiji Thukul. Film ini mendapat pengakuan luas, meraih Piala Citra untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2018, serta diputar di berbagai festival internasional, termasuk Busan International Film Festival 2018 dan Asia Pacific Screen Awards 2019 di Brisbane, Australia.

Selain Nyanyian Akar Rumput, film dokumenter lain berhasil ia garap seperti Jalan Dakwah Pesantren (2016) dan Balada Bala Sinema (2017), yang dinominasikan sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2017. Pada tahun 2022, ia merilis Roda-Roda Nada, sebuah dokumenter yang mengangkat kisah musisi dangdut jalanan dan mendapatkan nominasi serupa di Festival Film Indonesia 2022. Tahun kemarin Yuda melakukan debutnya sebagai sutradara film fiksi dengan merilis Harmoni, menandai langkah baru dalam kariernya di dunia perfilman.

“Sebenarnya aku gak ingin disebut sebagai spesialisasi di dokumenter aja sih. Dari latar belakangku kan jelas ada film fiksi, dan sempat terlibat dalam banyak produksi sinetron dan FTV. Meski lebih dikenal dari dokumenter, aku sih nggak ingin membatasi diri hanya pada satu genre.”

Merekam Realitas: Yuda Kurniawan dan Isu Sosial

Bagi Yuda, saat membuat dokumenter bukan sekadar soal cara merekam gambar, tetapi juga cara membangun hubungan dengan subjeknya. Proses risetnya sering kali dilakukan dalam waktu lama dengan pendekatan observasional: membiarkan cerita berkembang secara alami tanpa banyak intervensi. Misalnya, untuk Nyanyian Akar Rumput, ia sudah mengikuti perjalanan Fajar Merah sejak 2012 melalui berbagai pemberitaan dan musik – musiknya. 

“Wah, cakep banget nih lagu, aku ulang terus sampai akhirnya jadi makin jatuh cinta. Kebetulan aku berkawan dengan mas Lexy Rambadeta yang sedang ada kegiatan bersama Fajar Merah. Ya mas Lexy itulah akhirnya yang mempertemukan kita.” cerita Yuda.

Salah satu ciri khas dokumenter Yuda Kurniawan adalah penggunaan musik sebagai elemen utama dalam penceritaan. Dari Nyanyian Akar Rumput hingga Roda-Roda Nada, musik bukan hanya sebagai latar, tetapi bagian dari struktur naratif film.

Lirik-lirik lagu dalam Nyanyian Akar Rumput yang dinyanyikan Fajar Merah menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini, menghidupkan kembali puisi-puisi ayahnya, Wiji Thukul. Sementara dalam Roda-Roda Nada, dangdut jalanan digunakan sebagai cerminan realitas kaum proletar.

 “Mungkin kebetulan karena aku suka musik juga ya,dan proses kreatifnya itu bayangannya lebih asik aja, selain juga membantu menceritakan sesuatu dengan cara yang lebih emosional,” kata Yuda.

Mengangkat isu sosial dan politik dalam dokumenter tentu bukan tanpa tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana membangun kepercayaan dengan subjek, terutama pada isu yang sensitif. Saat mengerjakan Nyanyian Akar Rumput, Yuda menghadapi kondisi psikologis keluarga korban yang masih mengalami trauma, yang secara tidak langsung juga memengaruhi dirinya secara emosional. 

“Membuat dokumenter dengan isu-isu berat ya, itu psikis kita juga pasti akan terdampak. Misalnya Nyanyian Akar Rumput itu kan, aku berhubungan dengan keluarga yang secara psikis memang mereka lelah menghadapi trauma masa lalu.”

Selain itu terdapat ‘bayang-bayang’ risiko represi dari pihak tertentu walau selama proses pembuatan ia tidak mengalami pengalaman itu. Tapi setelah Nyanyian Akar Rumput tayang ke bioskop, muncul beberapa celotehan yang mengarah kepada ‘kelompok politik yang tersudutkan’. Yuda tetap teguh pada prinsipnya bahwa dokumenter harus merekam realitas tanpa manipulasi.

Menghidupkan Jejak-Jejak Sinema di Sudut Kota

Sebagai warga Depok sejak 2013, Yuda juga pernah berupaya membangun ekosistem perfilman di kota ini dengan mengisiasi rencana festival film. Namun, ia melihat bahwa komunitas film di Depok masih belum tampak potensinya dan terdapat fragmentasi kelompok. Ia menyarankan bahwa langkah awal untuk membangun ekosistem film sebenarnya dengan memperbanyak pemutaran film, diskusi, dan workshop, sehingga bisa membangun ruang apresiasi dan regenerasi sineas lokal.

“Ya menurutku bukan cuma produksi saja yang difokuskan, tapi harus diperbanyak ruang-ruang pemutaran kolektif ya,” tegasnya.

Sebagai sineas yang telah berkarya hampir dua dekade, Yuda Kurniawan terus berupaya menjadikan film—baik fiksi maupun dokumenter—sebagai medium yang lebih luas, inklusif, dan mampu merangkul berbagai suara.

Ke depannya, ia berharap bisa menggarap film dengan cakupan yang lebih luas dan dapat dinikmati lebih banyak orang. Bukan sekadar hiburan, tetapi karya-karya yang mampu menumbuhkan ruang dialektika—menciptakan percakapan, mendorong perubahan, dan merangkai jalan tuk kemajuan bersama.

Untuk melihat lebih lanjut karya Yuda Kurniawan dapat mengunjungi www.rekamfilms.com atau atau IG: @rekamfilms . IG: @yuda.kurniawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *