Menjelajahi Identitas Diri: Sebuah Perjalanan Menjaga Kewarasan Z.A Setiawan di Visual dan Musik

Dalam dunia seni, ekspresi kreatif sering kali menjadi cerminan dari pengalaman dan perjalanan hidup seseorang. Saya menemui Z.A Setiawan, biasa dipanggil Adit, seniman multitalenta yang kerap mengeksplorasi berbagai bentuk visual dan musik ini senang dituliskan sebagai ‘Z’—untuk kebutuhan internet branding. Tentunya warga Depok, toh saya ‘menyore’ bersamanya di sebuah kedai kopi rumahan bernama Waluga Kopi. Baginya seni adalah medium untuk menyalurkan berbagai perasaan, mulai dari keresahan, trauma, hingga kebutuhan akan validasi. Melalui berbagai eksperimen visual dan musik, Z membangun identitas artistiknya dengan gaya yang unik dan otentik.

Memulai Eksperimentasinya Sebagai 3D Artist

2013 adalah tahun dimana ia mendapatkan segala penolakan dan tekanan dari dari kegagalan dalam mendapatkan pekerjaan sebagai desain grafis hingga kurangnya pengakuan atas karyanya, Z mulai mempertanyakan jalannya di dunia ini.

Bentuk emosi yang dikeluarkan adalah rasa dendam dan keinginan untuk membuktikan diri. Alih-alih melampiaskan ke bagian ‘mabuk-mabuk’ justru malah menemukan dunia 3D, teknologi yang berhasil menghadirkan dimensi baru dalam perjalanan visualnya. Sebuah awal yang menjadikannya selalu tertarik mengeksplorasi medium baru.

Dengan hanya berbekal perangkat seadanya, ia mulai belajar secara otodidak menggunakan 3D Blender. Tanpa mentor atau pendidikan formal dalam desain tiga dimensi, Z menghabiskan malam-malam panjang mengulik software tersebut.

“Dalam seminggu gue bisa nggak tidur 2 hari buat ngulik itu doang,” katanya mengenang masa-masa awalnya dalam dunia 3D.

Eksperimentasi ini melahirkan proyek bernama Z.artwrk yang bukan hanya membantunya menemukan medium yang lebih sesuai dengan ekspresi personal, tetapi juga membuka peluang baru dalam kariernya. Bahkan dalam berbagai proyek industri ia kerap menjadi spesialisasi di Augmented Reality. Seiring waktu, ia mulai mengembangkan gaya uniknya sendiri dalam seni 3D, yang kemudian menjadi bagian integral dari identitas visualnya.

“Gue nggak punya latar belakang DKV, desain gue biasa aja. Akhirnya gue kulik 3D, karena gue mau cari potensi yang belum banyak orang eksplorasi saat itu,” katanya.

Meskipun demikian, mengutamakan konsep dalam setiap karyanya adalah kewajiban. Setiap elemen visual yang dibuat dalam format 3D memiliki narasi tersendiri yang berakar pada pengalaman personal.

Memilih Seni sebagai Jurnal Pribadi

Kini, Z menganggap setiap karyanya sebagai jurnal pribadi yang mencerminkan isi pikirannya. Karya terbaru yang ia kembangkan adalah Z.signed: Kolase dengan konsep Black Journal yang ia jadikan wadah pencurahan segala bentuk ide tanpa batasan. Dengan pendekatan ini, ia membiarkan pikirannya mengalir tanpa terlalu banyak kontrol, menciptakan visual yang lahir dari proses alam bawah sadar.

“Kadang kepala gue berat, mungkin harus ‘dikeluarkan’. Daripada menumpuk, ya gue lempar ke sana,” ungkapnya sambil menyeruput kopi susu.

Pendekatan ini menjadikan karya-karyanya sebagai bentuk eksplorasi diri, di mana setiap warna, komposisi, dan teks memiliki makna mendalam, meskipun bagi orang lain mungkin terlihat absurd. Z tidak merasa memiliki tanggung jawab terhadap bagaimana orang lain menanggapi karyanya. Baik itu disukai maupun dibenci, bagi Z, seni adalah ekspresi jujur dari dirinya sendiri, tanpa perlu memenuhi ekspektasi siapa pun.

Dalam eksplorasi visualnya pun ia memiliki kecenderungan terhadap penggunaan warna tertentu yang selalu memiliki latar belakang ‘filosofis’. Pada tahun 2018, misalnya, ia banyak menggunakan warna biru dan kuning, sementara saat pandemi, ia lebih banyak bermain dengan warna gelap seperti ungu dan hijau.

“Setiap warna yang gue pilih pasti ada akar sejarahnya. Kadang gue sadar, kadang nggak. Misalnya tiba-tiba gue suka warna tertentu, lalu gue nonton Evangelion, oh ternyata warnanya mirip. Jadi ada koneksi bawah sadar yang terjalin,” jelasnya.

Pendekatan ini membuat setiap karya Z memiliki identitas yang kuat dan mampu menyampaikan emosi yang beragam kepada penikmatnya.

Musik Sebagai Perjanalan ke Dimensi yang Berbeda

Tak hanya di ranah visual, Z juga menjadikan musik sebagai medium lain dalam mengekspresikan dirinya. Dia adalah seorang musisi yang kini aktif di Submess, band Post-Punk Crossover asal Depok. Perjalanannya di dunia musik dimulai sejak masa kuliah, ketika bereksperimen dengan berbagai alat musik dan terlibat dalam komunitas Ableton Indonesia. Dengan latar belakang yang tentunya bukan berasal dari dunia musik, ia belajar secara otodidak dan memilih kawan musisi sebagai mentor: Mamang Kesbor atau Mardial Muziek—teman satu angkatannya di kampus—untuk mengembangkan gaya uniknya.

Sebelum bertemu dengan Submess, Z pernah menyelesaikan proyek musik solonya yang dikenal sebagai Z From Nowhere. Ia menyelesaikannya pada masa lockdown akibat pandemi COVID-19—masyarakat sipil mana sih yang tidak merasa tertekan oleh berbagai pemberitaan di media? Untuk mengalihkan perhatiannya, ia mulai bereksperimen dan berhasil menghasilkan tujuh lagu yang kemudian disatukan dalam album berjudul The Darkest Sound of Absurdism.

Album ini dirilis pada tahun 2021 di semua platform digital, mencerminkan ruang gelap dari pemikiran Z. Mengusung genre trip hop dan downtempo serta memasukan unsur post punk di dalamnya. karya ini terinspirasi oleh album Everyday Robots dari Damon Albarn, band Massive Attack dan Portishead. Trip hop sendiri merupakan genre musik yang menggabungkan elemen hip-hop dan electronica dengan tempo lambat serta nuansa atmosferik, sering kali memasukkan unsur jazz, soul, dan funk.

Secara visual, terdapat pelibatan karakter imajinasinya seperti Zhuzhu dan Jun Hikari yang menambah dimensi artistik pada proyek ini. Ia berharap album ini dapat menemani pendengarnya yang sering overthinking di atas jam 1 pagi, menawarkan pengalaman mendalam melalui kombinasi musik dan visual yang unik.

Musik baginya adalah medium ekspresi yang fleksibel, memungkinkan eksplorasi berbagai genre dan konsep untuk menyampaikan emosi dan pemikiran terdalamnya. Di Submess pun ia menemukan ruang untuk menggabungkan elemen-elemen punk, post-punk, hingga electronic dalam satu kesatuan yang khas.

“Kalau di musik, gue lebih ingin menciptakan sesuatu yang bisa dinikmati orang lain, meskipun tetap ada kurasi pribadi dalam pemilihannya,” ungkapnya.

Menariknya, meskipun dalam visual ia lebih membiarkan segalanya mengalir, dalam musik ia cenderung lebih strategis dalam menentukan apa yang layak untuk dipublikasikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap medium yang digunakan memiliki pendekatan yang berbeda tergantung pada tujuan dan konteksnya.

Menjaga Kewarasan Melalui Seni

Pada akhirnya, bagi Z, seni bukan hanya tentang menciptakan sesuatu yang estetis, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan mental. Ia menyadari bahwa berkarya adalah salah satu cara untuk mengatasi berbagai emosi dan pengalaman hidup yang kompleks.

“Banyak yang bilang seni itu lahir dari depresi, katanya. Buat gue, seni adalah cara menjaga kewarasan,” ucapnya.

Melalui berbagai medium, mulai dari 3D, Kolase, hingga musik, Z terus mengeksplorasi dirinya dan membangun narasi artistik yang unik. Perjalanannya dalam dunia seni tidak hanya menjadi refleksi pribadi, tetapi juga inspirasi bagi mereka yang ingin menemukan identitas kreatif mereka sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *