Di sebuah warung sederhana bernama Kopi Maju Makmur, seni kolase menemukan jalannya untuk hidup. Hary Fahrizal—pemilik kedai, petani, sekaligus seniman—awalnya hanya ingin melukis, namun justru menemukan ekspresi artistiknya dalam kolase. Dari kedai kopi yang ia kelola, lahir sebuah kolektif yang aktif dibersamai oleh dua rekan: Nizar dan Ilham.
Didorong oleh rasa penasaran, saya mencoba menghubungi Hary lewat DM Instagram untuk kebutuhan artikel ini. Namun, jarak menuju Tasikmalaya terlalu jauh untuk perjalanan singkat, dan waktu pun tak mempertemukan kami di ruang daring. Maka, saya mengirimkan sejumlah pertanyaan dalam bentuk rangkaian pesan yang kemudian jawabannya saya olah menjadi kisah perjalanan singkatnya.

Hary mengenal seni kolase sekitar tahun 2017 saat masih tinggal di Jakarta, setelah mengunjungi sebuah pameran seni di sebuah galeri. Saat itu, ia terpikat dengan keunikan medium ini—bagaimana potongan-potongan gambar bisa dirangkai menjadi komposisi yang baru, memberikan makna berbeda dari gambar-gambar asalnya. Keinginannya untuk melukis yang sampai kini belum tercapai untuk menjadi medium ekspresinya, mendorongnya mencari alternatif lain, dan kolase pun menjadi jalur kreatif yang ia tekuni.
Hary terinspirasi dari beberapa seniman kolase Indonesia seperti Ika Vantiani, Nova Kusuma, serta komunitas pegiat kolase lainnya yang ia temui melalui media sosial. Ia mulai bereksperimen dengan teknik-teknik manual, menggunting dan menyusun potongan gambar dari majalah bekas, lalu kemudian didigitalisasi untuk keperluan dokumentasi dan produksi merchandise.
Kopi Maju Makmur: Merangkai Imaji dari Potongan – Potongan Realita
Kopi Maju Makmur yang dikelola Hary untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari bukan sekadar tempat menyeduh kopi. Hary membentuk sebuah ruang untuk berbagai gagasan kreatif bertemu dan berkembang. Ilham dan Nizar, dua teman yang membersamainya, mampu memperdalam seni kolase setelah menghabiskan waktu di kedai tersebut. Ilham, misalnya, mengaku awalnya tidak memiliki ketertarikan begitu besar pada kolase, namun setelah mencoba membuatnya, ia merasa cocok dengan medium ini. “Aku punya kecenderungan merusak,” tulisnya bercanda, merujuk pada bagaimana ia menikmati proses menggunting dan menyusun ulang gambar-gambar yang sudah ada.

Nizar pun memiliki cerita serupa. Ia mulai tertarik pada kolase setelah melihat karya Hary di Instagram. Menurutnya, salah satu daya tarik kolase adalah kemudahan mendapatkan material—majalah bekas dan potongan gambar dari media sosial menjadi bahan utama yang ia gunakan. Baginya, kolase menawarkan kebebasan ekspresi tanpa batas.

Hary, Ilham, dan Nizar sepakat untuk membentuk sebuah kolektif yang dapat mewadahi para pegiat kolase di Tasikmalaya. Mereka ingin membuka ruang bagi siapa saja yang ingin berkarya dengan medium ini, tanpa harus merasa segan atau terbebani ekspektasi.
“Jangan sungkan, mari berkawan,” Tulis Hary menandakan semangat kolektif mereka. Mereka berharap dapat mengisi ruang kosong dalam ekosistem seni lokal serta memperluas jaringan dengan komunitas kreatif lainnya. Kolektif ini tentunya telah menjadi wadah bagi mereka untuk berbagi teknik, inspirasi, hingga membahas makna di balik karya-karya yang mereka buat.

Ke depan, Hary dan rekan-rekannya ingin lebih banyak mengadakan diskusi, pameran, dan kolaborasi dengan seniman lain. Pada akhirnya kolase bukan sekadar soal menggunting dan menempel gambar—lebih dari itu, ia adalah proses merangkai ulang realitas, menciptakan narasi baru dari kepingan-kepingan yang sudah ada. Di ruang yang dibentuk Hary, kolase menjadi bukan sebatas ekspresi individu, tetapi memperkaya lanskap seni di Tasikmalaya.


Helmi Rafi Jayaputra (Depok, 1996) mengambil langkah baru dengan mendirikan Kolase Kultur, sebuah media alternatif di Depok yang berfokus pada seni dan budaya. Kolase Kultur hadir sebagai platform yang menjembatani berbagai ide dan gagasan serta menjadi ruang kolaborasi inklusif antara seniman, kurator dan komunitas. Sebelumnya Helmi bekerja selama 9 tahun sebagai pembuat video dan menyelesaikan beragam proyek dokumenter di berbagai kelembagaan non-profit, diantaranya; Penabulu Foundation (2015) dengan isu mengurangi tingkat emisi karbon dunia, Human Rights Working Group (2018) dengan isu Kebebasan Beragama dalam Hak Kemanusiaan, Sawit Watch (2021) dengan isu perhutanan sosial dan konservasi sawit, dan Pandu Laut Nusantara (2024) dengan isu konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Di ranah perfilman, Helmi terlibat dalam INDICINEMA, jaringan bioskop alternatif Indonesia yang berpusat di Bandung. Sejak 2019, ia turut mendirikan dan mengelola satu-satunya bioskop alternatif di Depok. Saat ini aktif membangun dan menulis di Kolase Kultur.
Tinggalkan Balasan