sambaran penghabisan

ke mana sebenarnya kita berjalan membawa puisi?

atau kepada apa puisi-puisi itu akan menemukan lega?

sejarah bentuk dan isi

tak akan pernah benar-benar tuntas

di negeri konoha, jika dan hanya jika,

para dewan tak mengerti mengapa konoha

ada yang bilang padaku,

puisi yang adil bergantung pada sikap

dan sikap yang adil niscaya membuahkan puisi

walaupun buah puisinya tak lagi melulu

berdiri karena kata;

bentuk dan isi “puisi sikap” itu, ia bersikukuh,

melampaui mitos Cassirer.

karena sikap, ia juga tindak

dan karena tindak, ia juga produksi.

pada kondisi mana

produksi puisi

jadi punya

semua orang?

tapi…

benarkah adanya,

bahwa fakta-fakta kesusastraan kita

berkata lain?

ada berapa pujangga pongah?

konon, yang kurang pongah jarang membuat sajak;

mereka tidak produktif.

— (santaaai…! jangan tersinggung dulu!)

seratus tahun setelah Tynyanov menulis

untuk Pasternak:

“menulis tentang sajak-sajak sama peliknya

dengan menggubah mereka,

nyaris sama sukarnya pula dengan menafsir mereka.”

garis sejarah,

bukannya menjadi daging dunia,

ia tetap saja linier —

seolah-olah meniadakan

kemungkinan divergensi Klee.

lingkaran setan yang menggejala di masa pergerakan nasional bangsa kita tetap tak berubah hingga hari ini, detik ini

— walau beberapa bagian lain dunia sempat melengos sejenak beberapa kali — 

karena garis itu jugalah yang ditarikteruskan oleh Chairil…

lantas dikredokan, dikonkretkan,

dan pelan-pelan ditampilkan nakal

oleh penerus-penerusnya belakangan

tapi, dengan pandangan visioner seperti itu pun

lompatan 1000 tahun ke depan, nyatanya,

tidak benar-benar membuat kata-kata bebas;

mereka masih dipenjara oleh para pengarang,

bahkan oleh penyair yang mengaku lantang ingin membebaskannya.

yang menjadi poros,

tiada sama sekali kata,

apalagi pembaca.

ini semua soal si aku semata-mata. —

(

akui sajalah, sudah!

makanya kausuka 

membawa puisi itu berjalan, kan?

atau:

bukankah hasratmu menuntun pembaca,

setidaknya, menuju unit-unit mitikal itu,

kalau bukan ke ‘Yang Mutlak’?

Kita memang tak pernah mengenal

Doktrin Korespondensi,

tapi semua kepala di bumi pertiwi,

sadar atau tidak,

mengamini sumpah palapa.

)

pujangga-pujangga kontemporer

barangkali memang tak mau punya urusan dengan

kenyataan paralel — 

virtual saja belum, apalagi kriptik;

internet belum tuntas sebagai medium,

apalagi blockchain.

kedua protokol itu

hanya menjadi tempat singgah,

sebagaimana galeri dan situs daring,

sebelum, sesaat, dan sesudah

kata-kata puitik bisa dibeli langsung

tanpa perantara penerbit.

ML? Tak lebih daripada alat eksperimen kedataan;

spekulasi puitik atas potensi AI yang mencengangkan?

itu pun juga mentok di “perpanjangan analitik”

yang penuh segan.

imajinasi 1000 tahun, yang sengaja ingin dilompati,

selamanya berhenti pada fetisisme estetika — 

terlebih bagi mereka yang menolak utopia

politik [panglima]

aduh…! soal-soal basi itu lagi.

bagaimana jika kita berharap pada

filsafat tumpuk undhung?

sungguh bisakah kita melihat

kejadian-kejadian di dalam ruang-waktu itu

dengan hanya pada satu titik,

di mana masa lalu dan masa kini bertumpuk

sebagai suatu keserempakan yang total,

di titik itu?

apakah titik itu membebaskan kata demi kata, sejati-jatinya?

akankah kebebasan itu  menjadi kerangka produksi…

manusia dan sastra; puisi dan kata; 

ideologi dan sikap-tindak?

bolehkah keraguan atas itu 

juga menjadi sajak?

dan bagaimana sajak bisa 

— kalau bukan terus-menerus —

 

meragukannya sejenak?

sejak Rendra tiada,

yang disebut sajak sejati hanyalah dokumen

selepas Danarto,

bahkan yang konkret pun tinggal semata jadi petuah

penyair terkini yang mencoba memberontak,

memilih untuk merasionalisasi kata-kata makian

— seperti pantek yang akhirnya terbit juga itu —

menjadi instrumentasi prosaik,

memperkuat invasi naratif

melestarikan narativitas ideologis

dan narativitas terideologisasi…, berbarengan;

gara-gara bingkaian sajaklah maka pantek menjadi eufemisme terukur

— terstruktur —

caci maki mulai didorong keluar dari lingkaran tindak-tutur.

ia seolah diajak mengkhianati

ekspresi[-ekspresi busuk] dan tabu

bukankah justru,

dengan “keajaiban artistik” semacam itu

makian akan dan sedang kehilangan nyawanya

yang paling sejati…?

sajak akan gagal berkawan dengan caci maki;

dan caci maki niscaya batal menjadi sajak

tatkala intensi artistik penggubahan yang ditaja,

tanpa sadar, menetralisir tabu;

mengobjektivasinya sebagai gagasan belaka

tidakkah caci maki yang asli lebih puitik

daripada puisi-puisi yang ada?

sementara kemenjadiannya

dan kedekatannya pada wacana

hanyalah permulaan baginya

untuk menjadi otomatis

untuk dikenal otomatis…,

hingga sambarannya habis bis bis bis…!!!

ke mana sebenarnya kita berjalan membawa puisi?

atau kepada apa puisi-puisi itu akan menemukan lega?

pada kondisi mana produksi puisi jadi punya semua orang?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *