Grup musik asal Depok, After Cloudia, merilis karya terbaru mereka dalam format mini album bertajuk “Can’t You See a Fallacy?”. Selain sebagai kompilasi enam lagu, rilisan ini merupakan bentuk ekspresi dari tumpukan-tumpukan emosi yang selama ini sulit untuk diungkapkan.
Judul EP ini menyimpan pertanyaan retoris yang mencerminkan perenungan atas apa yang tampak sebagai kesalahan walaupun hanya setitik seperti sebuah noda hitam di atas kain putih. After Cloudia mencoba menggali kompleksitas ini lewat eksplorasi musik yang mulai mereka garap sejak tahun 2022.
Beberapa lagu dalam EP ini pernah dirilis sebagai single, seperti “Wasted Time” (2022)—yang sempat ditarik karena kendala teknis—dan “Ms Fortune” (2023). Keduanya kini hadir dalam versi remaster, bersanding dengan trek-trek baru seperti “Fallacy”, “nodiontcare”, dan “We’ve been walking apart, but all I’ve got just Remembrance”.

Tema besar dari EP ini berkisar pada pergulatan emosional: dari melepaskan sesuatu yang belum benar-benar direlakan (Ms Fortune), hingga kebiasaan meromantisasi hubungan yang sebenarnya tidak sehat (Wasted Time dan Fallacy). Rilisan ini menjadi tonggak penting bagi After Cloudia, karena menandai langkah awal mereka dalam menyusun narasi musikal secara utuh, bukan hanya lewat single lepas. Mereka ingin dikenal sebagai entitas musik yang menyampaikan pengalaman personal lewat komposisi suara.
Gaya bermusik After Cloudia pun terpengaruh oleh referensi lintas medium, dari audio hingga visual, yang masing-masing personel serap dan interpretasikan. Proses kreatif mereka sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan perasaan kolektif yang dibentuk dari interaksi sehari-hari dengan harapan penggambaran emosi dapat ter-deliver secara utuh lewat lagu-lagunya.
Frasa “After Cloudia” sendiri diambil dari judul lagu sebuah grup musik Jepang bernama Versailles, dengan interpretasi yang berbeda.
“Cloudia merupakan suku yang tinggal di awan, merepresentasikan mereka para pelaku seni yang mayoritas sudah dan sedang berkarya
dan disebarluaskan di Internet.” Tutur Hanif, gitaris After Cloudia, yang turut mendoakan agar mereka tetap konsisten untuk berkarya.

Helmi Rafi Jayaputra (Depok, 1996) mengambil langkah baru dengan mendirikan Kolase Kultur, sebuah media alternatif di Depok yang berfokus pada seni dan budaya. Kolase Kultur hadir sebagai platform yang menjembatani berbagai ide dan gagasan serta menjadi ruang kolaborasi inklusif antara seniman, kurator dan komunitas. Sebelumnya Helmi bekerja selama 9 tahun sebagai Creative Generalist dan menyelesaikan beragam proyek dokumenter di berbagai kelembagaan non-profit, diantaranya; Penabulu Foundation (2015) dengan isu mengurangi tingkat emisi karbon dunia, Human Rights Working Group (2018) dengan isu Kebebasan Beragama dalam Hak Kemanusiaan, Sawit Watch (2021) dengan isu perhutanan sosial dan konservasi sawit, dan Pandu Laut Nusantara (2024) dengan isu konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Di ranah perfilman, Helmi terlibat dalam INDICINEMA, jaringan bioskop alternatif Indonesia yang berpusat di Bandung. Sejak 2019, ia turut mendirikan dan mengelola satu-satunya bioskop alternatif di Depok. Saat ini aktif membangun dan menulis di Kolase Kultur.
Tinggalkan Balasan