Debut Single “Cancel Culture”, Submess Menyikapi Fenomena Era Digital

Band post-punk crossover asal Kota Depok, Submess, resmi merilis debut single mereka yang bertajuk “Cancel Culture” melalui label OwnGrownd Records. Single ini menjadi langkah awal mereka dalam memperkenalkan musik dan konsep yang lebih luas, yang nantinya akan terangkum dalam mini album mereka: Sub-urban Boys Eclectic Beats.

Dalam Cancel Culture, Submess mengangkat fenomena pembatalan atau budaya boikot yang kerap terjadi di era digital. Budaya ini sebenarnya memiliki akar sejarah yang sangat panjang. New York Times dalam artikel The Long and Tortured History of Cancel Culture pernah menulusuri: Tahun 1991, di China muncul istilah “renrou sousuo” yang berarti “pencarian daging manusia”. Istilah ini merujuk pada upaya kolektif pengguna internet untuk mengidentifikasi orang yang terlibat dalam korupsi atau perilaku tidak bermoral. Sampai istilah itu menjadi sangat populer–berkat masifnya perkembangan media sosial–ketika terungkapnya skandal pelecehan seksual Harvey Weinstein di tahun 2017. 

Budaya Pembatalan ini biasanya menyosor ke figur publik atau penguasa yang mana perilaku, ucapan, atau karyanya dianggap tidak sesuai dengan norma atau nilai yang berlaku di masyarakat. Akan tetapi praktik sosial ini semakin hari semakin berubah nilainya. Bukan menjadi akuntabilitas sosial untuk menegakan keadilan tapi menjadi alat persekusi yang berlebihan. Fenomena ini tentunya direkam oleh submess yang melahirkan Lagu Cancel Culture.

Lagu ini mengajak pendengar untuk lebih bijak dalam menyikapi suatu peristiwa, terutama yang berkembang di media sosial. Avan (Vokalis) mengungkapkan bahwa budaya cancelling kini telah menjadi semacam pop culture yang memberikan dampak cukup buruk bagi kehidupan banyak orang.

“Budaya baru cancelling seperti sebuah pop culture. Dari pesohor hingga orang biasa bisa saja mengalami cancelled dari lingkungan sosial terutama di digital. Kadang kita dipaksa benci atau tidak suka dengan orang-orang yang sebenarnya kita tidak kenal secara langsung atau bahkan awalnya tidak tahu sama sekali. Dan terkadang secara bodoh, kita baru menyadari kita masuk dalam drama budaya cancelling tersebut,” ujar Avan.

Musik Cancel Culture dibuat dalam komposisi sederhana dengan lirik repetitif, di mana pendengar hanya akan mendengar kalimat “saling silang” yang terus diulang dalam tempo yang dinamis. Pendekatan ini dilakukan agar pesan yang ingin disampaikan Submess dapat lebih melekat di benak pendengar.

“Musik Cancel Culture kami nilai paling sederhana di antara lagu kami lainnya di EP ini. Monoton dan repetitif? Iya. Tapi, kami percaya kesederhanaan ini yang mungkin mudah untuk diingat orang-orang di awal kemunculan kami,” tambah Avan.

Submess sendiri terbentuk pada pertengahan 2023 dan digawangi oleh Avan (vokal), Gilang (gitar), Yudha (bass), Adit (synthesizer), Apit (gitar), dan Mahmud (drum). Meski tergolong baru, para personelnya bukanlah nama asing di band – band underground Kota Depok, sebab mereka telah aktif sejak era 2000-an.

Single “Cancel Culture” telah tersedia di berbagai platform digital sejak 16 Agustus 2024. Selain itu, Submess juga merencanakan pembuatan video musik untuk beberapa lagu dalam mini album mereka. Video musik pertama untuk “Cancel Culture” telah dirilis pada event Sound of Freeday #8 bertajuk Kansela Kultura pada 16 Agustus 2024. Dengan perilisan ini, Submess semakin mempertegas eksistensi mereka dan tetap mendukung ekosistem musik–terutama di Depok–yang lebih aman dan menjanjikan untuk generasi mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *