Film independen semakin bermunculan di Depok, menghadirkan beragam perspektif baru yang beberapanya berhasil menggugah pemikiran saya dan tim redaksi. Salah satu sosok yang turut berkontribusi dalam pergerakan ini adalah Kenan Pangaribuan, seorang warga Depok, berstatus sebagai mahasiswa IKJ dan seorang programmer film yang juga aktif dalam dunia produksi. Dengan latar belakang tersebut, ia memiliki perspektif unik dalam membangun cerita yang sarat makna. Kini, ia tengah menggarap proyek terbarunya, Wangi, yang mengangkat isu sosial dan menjadi cerminan dari kegelisahannya terhadap fenomena pelecehan seksual non-kontak.
Kenan memulai kariernya sebagai programmer film sejak bergabung dengan UKM Sinemaflex di kampusnya. Dari sana, ia mulai menjelajahi dunia festival film dan mendapatkan kesempatan menjadi programmer di berbagai pemutaran. Salah satu pengalaman paling berkesan baginya adalah saat mengkurasi empat program film dalam acara Cinema Tomo di Kineforum. Keberhasilannya di sana membawanya ke lebih banyak layar film lainnya.
Mengkurasi tidak hanya memberinya pengalaman dalam dunia pemutaran, tetapi juga memperkaya perspektifnya sebagai pembuat film. Dengan menonton banyak film dari berbagai latar belakang budaya, tema dan beragam isu, Kenan secara cuma-cuma mendapat wawasan yang sangat memengaruhi cara ia berkarya.
Awal Kisah, Konflik dan Anugerah
Sebelum menggarap proyek terbarunya, ia pernah menyelesaikan proyek film pendeknya: Ikan-ikan yang Tenggelam (Let Me Get What I Want), yang mengangkat isu poligami di sosial menengah ke bawah. Film ini lahir dari keresahannya terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan dalam praktik poligami yang disalahgunakan. Seringkali perempuan selalu dijadikan manusia nomor dua dengan berbagai objektifikasi yang dialaminya. Setelah saya dan tim redaksi selesai menonton filmnya, kami sepakat bahwa ketidakadilan yang dihadapi perempuan menjadi sebuah realitas yang terus berlanjut.
Kini, Kenan tengah menggarap film berjudul Wangi yang membahas bentuk pelecehan seksual non-kontak, sebuah isu yang jarang disorot namun dapat berdampak serius secara psikologis maupun emosional bagi korbannya. “Pelecehan seksual tidak boleh dianggap sebagai hal yang wajar. Kalimat seperti ‘ah, gitu aja marah’ atau ‘loh, kan cuma bercanda’ sering kali digunakan untuk membenarkan tindakan pelecehan.” Kata Kenan melalui Whatsapp.
Film ini mengikuti kisah Fahri, seorang perantau yang bekerja di toko laundry, dan bagaimana ia menemukan perilaku mencurigakan sang pemilik toko terhadap pakaian pelanggan. Kenan ingin meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bentuk pelecehan ini yang kerap diabaikan.
Pun ketika saya bertanya melalui whatsapp, proses produksi Wangi tidak berjalan begitu mulus.
“Produksi film kami mengalami empat kali penundaan karena proses pengembangan yang cukup panjang. Akhirnya, kami berhasil melakukan syuting pada 18-19 Januari 2025, dan saat ini film telah memasuki tahap pascaproduksi” Ujar Kenan.
Pendanaan menjadi salah satu faktor penting dalam kelancaran produksi film ini. Kenan dan tim berhasil mendapatkan pendanaan penuh dari Viking Sunset Studios Bali setelah mengajukan ide cerita pada awal 2024. Bantuan ini tidak hanya memberikan keleluasaan dalam produksi, tetapi juga membuka kesempatan bagi Kenan untuk mengembangkan ceritanya bersama para profesional di Bali.

Harapan untuk tetap hidup di film
Kenan melihat industri film independen Indonesia berkembang pesat, dengan semakin banyak sineas muda yang berani berkarya. Namun, ia merasa Depok, kota tempat ia dibesarkan, masih kekurangan wadah bagi pembuat film lokal. Ia berharap Depok dapat memiliki lebih banyak komunitas film, festival, dan ruang pemutaran untuk mendukung gerak sineas.
Dalam jangka panjang, Kenan bercita-cita menciptakan lingkungan produksi film yang lebih sehat, bebas dari pelecehan, bullying, dan eksploitasi kerja. Baginya, industri ini harus menjadi tempat yang aman dan menjanjikan bagi generasi mendatang yang ingin terjun ke dunia perfilman.
Dengan Wangi, Kenan tidak hanya ingin sekadar menghadirkan tontonan, tetapi juga membawa perubahan dalam cara masyarakat melihat isu. Film ini direncanakan untuk berkompetisi di berbagai festival film sebelum akhirnya dirilis untuk publik yang lebih luas.

Helmi Rafi Jayaputra (Depok, 1996) mengambil langkah baru dengan mendirikan Kolase Kultur, sebuah media alternatif di Depok yang berfokus pada seni dan budaya. Kolase Kultur hadir sebagai platform yang menjembatani berbagai ide dan gagasan serta menjadi ruang kolaborasi inklusif antara seniman, kurator dan komunitas. Sebelumnya Helmi bekerja selama 9 tahun sebagai Creative Generalist dan menyelesaikan beragam proyek dokumenter di berbagai kelembagaan non-profit, diantaranya; Penabulu Foundation (2015) dengan isu mengurangi tingkat emisi karbon dunia, Human Rights Working Group (2018) dengan isu Kebebasan Beragama dalam Hak Kemanusiaan, Sawit Watch (2021) dengan isu perhutanan sosial dan konservasi sawit, dan Pandu Laut Nusantara (2024) dengan isu konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Di ranah perfilman, Helmi terlibat dalam INDICINEMA, jaringan bioskop alternatif Indonesia yang berpusat di Bandung. Sejak 2019, ia turut mendirikan dan mengelola satu-satunya bioskop alternatif di Depok. Saat ini aktif membangun dan menulis di Kolase Kultur.
Tinggalkan Balasan