hidup indah yang begini ini…

tatkala genosida dan pelecehan
menjadi dua kata rutin dalam keseharian
untuk dibaca, bagi, dan gunakan,
yang jadi pertanyaan adalah kejujuran

karena
pada generasi di kota
kami mengungkai kata-kata
tanpa ancaman kokang senjata
tanpa taruhan nyawa
tidak seperti warga Papua dan Palestina
walau korona sempat melanda semua

tatkala kawan-kawanku tanpa sungkan menunjukkan:
.Feast dan Barasuara saja cukup
rujak netizen perlu dihirup
medsos adalah hidup

tidak sebegitu indah,
ironisnya hanya itu yang kita punya...,
tatkala sajak-sajak kita memang kumpulan kata belaka
bagaimana lagi kita akan menyegarkannya, Dea?

doktrin korespondensi demikian jauhnya,
faktografi tak ‘kan diminati para kolega,
sedangkan kemasyarakatan kian purna-,
ia berhenti di titik “semata” modal budaya.
filsuf-filsuf besar mendalih genosida di Palestina

antropolog ternama negeri kita
memaklumi penjajahan di Papua;

kehidupan macam itu yang hanya kita punya, Dea

kita masih bisa gembira mengungkai kata-kata
tanpa rutinitas ledakan, kematian, dan kehilangan
di studio dan taman baca kita tercinta.

karena, pada generasi di kota macam yang kita punya
penonton hidup dalam disfungsi yang betapa membiusnya
hidup itu yang kita punya: indaaaah, oh, indahnya...! pake bangettt.........

kuntul...!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *