Lensa Anak Terminal Depok – Membingkai Asa dari Kolong Jembatan

Di tengah hiruk pikuk kehidupan kota Depok, ada sekelompok anak yang tumbuh dalam kondisi yang jauh dari hangatnya mimpi. Terminal baginya adalah rumah, jalanan telah menjadi lapangan, trotoar menjadi panggung, deru kendaraan menjadi latar setiap permainan, Oh, “Om Telolet Om” mungkin menjadi harmoni yang tak terpisahkan. Di antara lalu lalang manusia dan kebulan asap mesin, mereka tumbuh, menemukan tawa, serta menciptakan dunia kecil mereka sendiri di sudut-sudut yang kian menyempit. Mereka hidup dalam keterbatasan, tanpa akses layak terhadap pendidikan, apalagi ruang untuk mewujudkan impian.

Di balik ketidakpastian itu, ada harapan yang selalu saja mencari celah untuk tumbuh. Setyo Manggala, seorang aktivis dari Depok, melihat kenyataan ini bukan lagi sebagai batas, melainkan sebagai panggilan untuk bergerak. Dari kegelisahannya, ia menciptakan sebuah gerakan yang konsisten menghadirkan ruang berkesenian inklusif bagi anak-anak—Lensa Anak Terminal.

Lensa Anak Terminal tentunya bukan sekadar komunitas yang mewadahi hobi fotografi kepada anak-anak yang hidup di dekat terminal kota Depok. Lebih dari itu, ia merupakan sebuah ruang yang telah berhasil menciptakan fondasi ekosistem berkesenian yang aman dan inklusif bagi anak-anak sekitar terminal untuk mengaktualisasikan diri. Kerangka berpikir anak-anak ditempa melalui pembelajaran berbasis seni visual, seperti fotografi, menggambar, kolase dan bentuk lainnya. 

“Kami mengembangkan pedagogi kesenian yang tujuannya adalah untuk membentuk sebuah budaya atau sifat dari para pembelajarnya agar punya keahlian dan memiliki ruang untuk aktualisasi diri, dan yang paling penting adalah semua dilakukan secara kolektif,” ucap Setyo.

Anak-anak yang tergabung dalam komunitas ini menjadikan kolong flyover Arif Rahman Hakim, Depok, sebagai taman bermainnya. Bahkan jika berbicara ‘ideal’, dalam kehidupan sehari – hari sebagai individu sebagian besar mereka harus menerima realita kemiskinan.

“Anak-anak ini hidup dalam keterbatasan. Satu petak kecil dihuni oleh lima orang. Privasi hampir tidak ada. Kita tidak bisa hanya memberikan mereka ilmu tanpa menjamin bahwa mereka punya ruang aman untuk tumbuh.”

Namun, Setyo percaya bahwa jika mereka tidak memiliki tempat (place) yang layak, mereka masih bisa memiliki ruang (space) yang aman dalam kesenian. Konsep ini ia pinjam dari Habermas—bahwa ada ruang fisik yang tak selalu ideal, tetapi bisa diisi dengan makna yang lebih besar.

Sejak awal berdiri, Setyo mengembangkan pendekatan pembelajaran kesenian yang bukan hanya melihat seni sebagai penciptaan estetika, tetapi juga sebagai alat pembelajaran dan pemberdayaan.

“Karena estetika itu tidak terbentuk dari ruang kosong. Dia terbentuk dari kebiasaan. Dia terbentuk dari sebuah ketertarikan dan keteguhan kita terhadap sesuatu hal.”

Selain diajarkan bagaimana menghasilkan karya dan mempelajari hal-hal dasar (teknis), anak-anak juga diberikan ‘jalan’ untuk menemukan suara mereka sendiri, dan mengartikulasikan dunia yang seringkali abai pada keberadaan mereka. dengan demikian, seni dapat menjadi sarana untuk menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan hak.

Program yang dijalankan oleh Lensa Anak Terminal mencakup berbagai kelas dan lokakarya yang berorientasi pada eksplorasi, bukan sekadar mengikuti PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Beberapa kegiatan yang pernah berjalan dalam komunitas ini antara lain:

  1. Kelas Eksplorasi: Anak-anak diajak untuk bereksperimen dengan berbagai media seni tanpa batasan yang kaku.
  2. Kajian Film: Sebuah forum diskusi untuk memahami dan mengapresiasi film sebagai medium seni.
  3. Workshop Kolaboratif: Bekerjasama dengan berbagai stakeholder, termasuk untuk anak-anak dengan kondisi khusus seperti penderita Angelman Syndrome.
  4. Photowalk dan Hunting Foto: Kegiatan eksplorasi lingkungan untuk meningkatkan keterampilan fotografi sekaligus mengenalkan mereka pada dunia luar.
  5. Pameran Seni: Sebagai puncak dari proses belajar, di mana anak-anak dapat menunjukkan karya mereka kepada masyarakat luas.

Komunitas ini juga berupaya untuk terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan minat serta kebutuhan anak-anak. Tidak hanya terbatas pada seni visual, Setyo dan kawan – kawan mentor juga membuka ruang untuk jenis seni lainnya, bergantung pada sumber daya yang tersedia.

Seiring berjalannya pameran dari waktu ke waktu dan konsistensi dalam menghasilkan karya, banyak anak yang mulai menunjukkan perubahan signifikan dalam cara mereka berpikir dan melihat masa depan. Salah satu contoh paling berkesan adalah Alvin, seorang anak yang dengan penuh keyakinan berkata kepada ibunya:

“Mah, aku kalau sudah besar pengen deh jadi kayak Kak Setyo. Kalau aku punya kamera, aku juga mau ngajarin anak-anak lain.”

Pernyataan ini mencerminkan bahwa anak-anak tidak hanya belajar tentang seni, tetapi juga menyerap nilai-nilai sosial dan kolektif yang ingin ditanamkan oleh para penggeraknya. Mereka tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga menjadi bagian dari upaya keberlanjutan komunitas ini.

“Saya sering bertanya-tanya, apakah yang saya lakukan ini benar-benar berdampak? Tapi ketika Alvin berkata seperti itu di depan ibunya, saya sadar bahwa nilai-nilai yang kami tanamkan sudah mulai mengkristal dalam diri mereka.”

Berbicara ruang – ruang kesenian di Depok, di banyak tempat, pameran seni sering kali dikurung dalam ruang putih yang steril—galeri ber-AC, dinding bersih, suasana yang eksklusif. Namun bagi Setyo, seni harus berpijak pada realitas komunitasnya. 

“Kami menolak gagasan bahwa pameran hanya bisa terjadi di ruang putih. Sebaliknya, kami ingin mengajak orang untuk datang ke tempat-tempat yang dipandang sebelah mata,” katanya.

Terbukti, saat pameran mereka berhasil menarik perhatian lima dinas pemerintah yang sebelumnya tak pernah menganggap keberadaan mereka secara serius. 

Yang namanya pemerintah tidak akan bergerak tanpa political will. Political will itu ada di kita. Kita yang harus bergerak, merebut ruang-ruang yang selama ini tidak mereka pedulikan. tidak harus melulu dengan konfrontasi, tapi dengan menunjukkan bahwa yang kita lakukan itu penting,”

Setyo Manggala, founder komunitas lensa anak terminal

Lensa Anak Terminal adalah bukti bahwa seni memiliki peran yang jauh lebih besar dari sekadar keindahan visual. Seni dapat menjadi alat untuk memperjuangkan hak, membangun kolektif dalam upaya memberikan kesadaran dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak yang kurang beruntung. 

Setyo tidak ingin Lensa Anak Terminal hanya menjadi gelombang sesaat yang menguap setelah ia pergi. 

“Ketakutan terbesar saya adalah ini tidak sustain ketika saya tidak ada. Karena itu, saya harus menjamin keberlanjutan melalui delegasi peran, pendanaan, hingga distribusi keahlian,” ungkapnya.

Kini, Lensa Anak Terminal telah menjelma menjadi lebih dari sekadar ruang bermain. Ini adalah tempat mereka melihat dunia dari jendela kecil bernama lensa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *