Make your inbox happier!

Subscribe to Our Newsletter

Mambrak Maur: Musik, Silaturahmi, dan Kolektivitas di Depok

“Semakin merapat, semakin erat, semakin akrab.” Sehabis hujan sore di Depok, keinginan mencari batagor dan cilok membawa saya ke sebuah acara musik di Warnoes Djuanda. Venuenya terasa homie, cukup luas dan santai, cocok untuk acara bertema acak-acakan, di mana musik bertemu dengan silaturahmi dan kumpul komunitas kreatif. Sebuah ruang yang hidup, diisi tawa dan perbincangan …

“Semakin merapat, semakin erat, semakin akrab.”

Sehabis hujan sore di Depok, keinginan mencari batagor dan cilok membawa saya ke sebuah acara musik di Warnoes Djuanda. Venuenya terasa homie, cukup luas dan santai, cocok untuk acara bertema acak-acakan, di mana musik bertemu dengan silaturahmi dan kumpul komunitas kreatif. Sebuah ruang yang hidup, diisi tawa dan perbincangan lintas generasi.

Di antara obrolan hangat, muncul tema besar tentang “kebersamaan” dan bagaimana warga Depok melihat serta merasakan kotanya sendiri. Konsep “rumah” pun mengemuka—bukan sekadar tempat tinggal, tapi lingkungan yang mendewasakan cara berpikir dan berekspresi. Di sini, setiap pendapat diterima, setiap kontradiksi dirangkul dalam semangat kekeluargaan. “I felt like home,” bisik salah satu pengunjung malam itu.

Dalam sesi Saling Sapa, DenBoi, Bang Zam, Galih (ThePopstival), dan Banok dari Padepokan memantik diskusi tentang koneksi dan kolektivitas yang menyatukan para pelaku musik Depok. Mereka juga menyinggung acara mendatang, ThePopstival, yang akan digelar 30 November 2025—sebuah panggung besar bagi semangat kolaborasi yang sedang tumbuh di kota satelit ini. Di tengah bayangan Jakarta yang bisa menyerap ribuan penikmat musik, Depok muncul sebagai ruang alternatif yang punya energi sendiri: kecil tapi lantang.

Acara “Mambrak Maur” ini benar-benar sesuai namanya: acak tapi amanah. Ada Saling Sapa, Pasar-pasaran, dan my personal favourite Pojok Jedag Jedug. Di pojok ini, salah satu kontributor (Wahyu Acum) suasana berubah jadi nostalgis hangat ketika piringan hitam berputar memainkan banyak lagu yang menurut saya sangat mengakrabkan.“Only a Fool,” “Baby Come Back,” “Oh Lorry,” dan “Jojo” dari Boz Scaggs. Musik menjadi semacam medium waktumembawa kita ke masa lalu, tapi tetap berpijak di hari ini.

Acara ini lanjut ke mini showcase antara beberapa musikus yang menunjukan karya karya yang sangat fenomenal seperti Lumeenals, SUBMESS, Jay Dawn, Fufu, Jarah! dan LIPS.

Merawat masa-masa seperti ini adalah bentuk kepedulian kolektif. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? “Mambrak Maur” menunjukkan bahwa musik bukan sekadar hiburan, tapi juga cara menjaga kehidupan sosial kota. Sebuah inisiatif kecil dari Depok yang berani bersuara lantang—menggoyang budaya, menertawakan absurditas, bahkan menyinggung politik dengan ringan.

Ahmad Zakki

Ahmad Zakki

Ahmad Zakki "Bang Jek" Abdullah (Tasik, 1990) adalah seorang yang menyebut-nyebut dirinya mistikus yang ilmiah. Walaupun mengaku berumur masih muda, ada kecurigaan bahwa dia sebenarnya sudah berumur kepala 5. Dia merasa bahwa menulis adalah sumber agar "awet muda". Sehari-hari mengaku sebagai pengajar di menulisfilm.com dan akhirnya sebagai sejarawan yang serba tahu dan menjadi penulis di Kolase Kultur. Tulisannya adalah gabungan antara SEO dan ekspresionis yang katanya sudah muak dengan gaya menulis jurnal ilmiah. Dia memiliki kehidupan kedua yang "normal" mengajar mahasiswa di universitas yang berlokasi di selatan Jakarta. Selain itu juga mengajar di beberapa tempat lain seperti Univ. IMA, Univ. Nasional, IDS dan Vokasi UI. Dia menawarkan diri sebagai "konsultan produksi" di bidang audio-visual, pengolah data sosial dengan metode NLP dan NVivo di bidang penelitian, pengamat AI di bidang informasi sains dan ahli komunikasi jaringan yang tersertifikasi (walau tidak pernah menunjukan sertifikatnya).
Keep in touch with our news & offers

Subscribe to Our Newsletter

What to read next...

Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *