bagaimana tidak, sajak-sajak Simbolis, Formalis, Mantra, Konkret, dan Mbeling
kehilangan muka di hadapan utas-utas medsos?
sekarang, yang bisa do your magic, ya, kautahu sendiri...
sejak setengah hingga nyaris satu dekade silam
Mekas sudah mencermatinya:
“Puisi daring akan menemukan dan mengembangkan bentuknya sendiri,”
katanya kepada Segers, juga kepada Obrist
bagaimana tidak jiwa-jiwa puitis memilih melompat ke simulakra liris
yang tampak nyata walau tak bisa diraba;
niscaya menyatakan arah hidupku, kau, mereka, dan kita
meski tak pernah bersua...?
sekarang, yang bisa di-share dan di-cancel
tanpa uang tanpa redaksi, ya, kautahu sendiri...
tapi ini, kan, bukan dekadensi
lihatlah: puisi jadi vernakular, sebenar-benarnya,
pada situasi terkontekstualnya: dunia gulir, wacana gulir
manusia-manusia kian produktif dengan kata-kata
dengan re- sana, re- sini; re- sekarang, re- nanti...
walau sering kali sampai lupa diri; lupa saring sebelum sharing.
cita-cita fakta puitik Tynyanov, jadilah fakta;
doktrin pragmatika seni Arvatov, tetaplah pragmatika;
tapi kini keduanya meng-ada puisi melalui lirik-lirik maya
menjelmakan “puisi menjadi” dari mutualan kita
ujaran-ujaran awam di layar-genggam nyata tampil konstruktif,
kerap kali bahkan lebih montase dari..., ya, kautahu sendiri...
sebab, kendara kata-kata—utas yang selalu digulir itu—
mendapati penggunaan maksimalnya di tangan prosumer:
netizen dan, belakangan ini, para sender yang suka mengadu kepada semua.
utas menyeret kita teruuuuussssss semakin dalam ke lubang kelinci
kian jauh sampai sadar bahwa kelinci itu tak pernah ditemui
sedangkan kesadaran jarang menghampiri
kalau belum ngantuk atau kebelet ngonten
zaman layar visioner dan era daring benda-benda:
mistikanya: siber www. www. www. eskatologinya: virtual-digital
agamanya: iman kepada rekayasa komunikasi media, modulasi-moderasi algoritma,
dan ameliorasi-eskalasi-augmentasi-ekspansi konten-konten beraneka.
puisi hari ini memang konten, tapi berdiri sebagai hal
yang, kalau eksis lebih awal, bisa membuat faal
Kritisisme Baru pasca-perang bisa jadi salah paham total.
bagaimana tidak...?
MANSHUR ZIKRI (Pekanbaru, 1991) adalah seorang kritikus yang saat ini menetap di Yogyakarta. Ia menjabat sebagai editor utama di Jurnal Footage, sebuah media daring yang membahas sinema dan seni kontemporer. Zikri pernah bekerja sebagai kurator di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat (2020–2022) dan menjadi anggota dewan juri pada ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival edisi ke-9 (2022). Sejak tahun 2009, Zikri aktif sebagai salah satu anggota Forum Lenteng. Ia juga mengelola akun TikTok @ngomendotcom serta menjadi penggerak sejumlah kegiatan, seperti proyek bebunyian Situationist Under-Record, kelompok seni performans PROYEK EDISI, dan gerakan sinema Council of Ten. Di bidang seni performans, ia memegang peran penting dalam penelitian dan kajian artistik 69 Performance Club. Zikri juga menyenangi sastra, tentunya.
Tinggalkan Balasan