Saya selalu percaya bahwa musik selalu menjadi bagian hidup seseorang. Secara umum, musik dianggap sebagai fenomena universal yang hadir di setiap kebudayaan manusia. Meskipun bentuk dan maknanya sangat beragam di seluruh dunia. Di era sekarang, peran musik sangatlah mendasar sebagai bagian mengekspresikan segala bentuk emosi, entah untuk mengenang masa lalu, penenang di tengah bisingnya kota, atau mungkin …
Menelusuri Jejak Perjalanan Musik Azalea Charismatic

Saya selalu percaya bahwa musik selalu menjadi bagian hidup seseorang. Secara umum, musik dianggap sebagai fenomena universal yang hadir di setiap kebudayaan manusia. Meskipun bentuk dan maknanya sangat beragam di seluruh dunia. Di era sekarang, peran musik sangatlah mendasar sebagai bagian mengekspresikan segala bentuk emosi, entah untuk mengenang masa lalu, penenang di tengah bisingnya kota, atau mungkin sekadar “pembangkit” di saat semuanya terasa berat. Saking banyak dan beragamnya, kita tak gusar untuk mencarinya atau bersusah payah mengejarnya. Sebab, musik itu datang dengan sendirinya di tempat-tempat tertentu, di waktu-waktu yang tak terduga, dan musik itu memilih untuk menetap di dalam hidup mereka.
Saya teringat pernah berjumpa dengan seorang kawan bernama Azalea Charismatic. Saat itu, ia masih menjadi violinist di Komunitas Biola Depok. Perempuan yang sangat lihai memainkan jemarinya di atas senar itu hadir dalam acara Temu Komunitas di area balai kota Depok. Kami tak banyak bertukar kata hari itu, hanya sapaan singkat dan sepotong kisah yang tertinggal di ingatan. Tepat satu dekade, saya menginisiasi pertemuan dengannya, guna menuliskan perjalanan berkaryanya.
Kali ini saya melihat Azalea dengan versi yang jauh berbeda. Bukan Azalea dengan biolanya dan bukan musisi yang sibuk menjajaki panggung, melainkan seseorang dengan hidup yang jauh lebih “bernada” dari keduanya, yaitu versi Azalea sebagai seorang ibu.
Mengulas Awal Perjalanan Azalea Charismatic
Sebagai musisi yang lahir di Depok, ia bercerita bahwa sebagian masa kecilnya dihabiskan di Padang, Sumatera Barat. Ia mengikuti sang ayah yang tengah dinas. Di sanalah ia pertama kali mengenal musik secara lebih serius. Ia belajar memainkan biola klasik dengan seorang guru les hingga mengetahui dasar teknik yang kuat.
Ketika akhirnya kembali ke Depok, Azalea membawa serta kecintaan pada musik itu. Tahun 2011 menjadi titik awal kariernya di industri, saat ia tergabung dengan grup musik pop bernama Dancing Donuts yang membawakan lagu Althea. “Itu pertama kali aku benar-benar masuk ke dunia musik,” katanya sambil tersenyum mengenang masa itu. “Tapi ruang di Depok waktu itu terbatas banget. Jadi meskipun aku tinggal di Depok, hampir semua gigs justru di Jakarta.”

Perjalanan berikutnya tahun 2014 terasa seperti pertemuan yang semesta takdirkan. Azalea dipertemukan dengan Nadia Alifazuhri, seorang pianis yang ternyata sama-sama pernah belajar musik di Padang. “Lucunya, kami baru sadar kalau dulu kami pernah tampil di konser yang sama waktu SD,” katanya tertawa.
Pertemuan itu melahirkan proyek duet bernama Sherenade. Pada tahun 2013, saat YouTube mulai ramai dengan cover lagu, mereka mencoba mengikuti arus dengan melalukan kerja-kerja teknis secara mandiri dan dengan keterbatasan pengetahuan. Lagu pertama yang mereka bawakan adalah Vierratale dengan judul Tanpamu. Berkat konsistensinya, mereka berkesempatan diundang ke radio ICU Pro 2 FM Jakarta dalam segmen Live Video Corner tahun 2017. “Orang radio ternyata heran, ‘kru-nya mana?’ Tapi justru itu yang bikin aku belajar menghargai setiap proses sih. Aku foto sendiri, video sendiri, edit sendiri,” ujarnya.

Pada akhir tahun 2017, lagu populer lainnya juga menghantarkan mereka ke stasiun TV, acara Dahsyat di RCTI. Mereka membawakan lagu Bukti milik Virgoun.

Mempelajari banyak hal teknis, dari rekaman hingga bagaimana merangkai narasi secara visual untuk promosi, membuat Sherenade kala itu menjadi semacam laboratorium kreativitasnya. Sherenede telah menembus total penonton sebanyak 1 juta di YouTube.
Selepas Sherenade, Azalea tak berhenti bereksperimen dengan bentuk musik lainnya. Ia kemudian membentuk trio bernama Dua Kata, bersama teman-teman yang memiliki visi serupa. “Di Dua Kata aku mulai belajar percaya sama orang. Dulu kan aku pengennya semua sempurna, ya aku kerjain sendiri. Tapi ternyata kolaborasi ini justru bikin musiknya hidup,” katanya. Dua Kata diisi oleh Putri Anggraini dan Dwi Pasha yang keduanya memegang gitar akustik, sedang Azalea sebagai vokalis dan violinist. Pada tahun 2020, mereka melahirkan 2 single bertajuk Rasa dan Katakan.
Pada masa yang sama, Depok mulai memiliki ruang kreatif baru bernama Roemah Kanara, yang digagas oleh Eka Gustiwana. Azalea kerap tampil di sana, hingga akhirnya bertemu dengan seorang audio engineer yang mengajaknya bergabung dalam label independen bernama Hexa Music. Berkat kerja sama itu lahirlah karya-karya sebagai soloist, Song of Relief (2020) salah satunya merupakan lagu berbahasa Inggris pertamanya yang ditulis di tengah suasana pandemi.
“Itu lagu yang paling ‘gong’. Aku tulis karena butuh kelegaan, karena suasana waktu itu berat banget. Tapi justru itu yang paling banyak didengar,” kenangnya.
Sebuah Fase Sunyi dan Fase Berbunga Kembali
3 tahun setelah pernikahannya (2019), ia melahirkan seorang anak. Jalan yang ia pilih menjadikannya tak terlihat lagi di sosial media. Musiknya sementara tak ia sentuh. Namun, ketika ia bercerita sore itu, saya bisa merasakan bahwa ia tidak benar-benar meninggalkan musik. Sebagai musisi perempuan, ia seperti tengah mengatur napas panjang selepas “maratonnya”.
“Aku akhirnya vakum tiga tahun. Tapi sebenarnya aku cuma berhibernasi,” katanya lirih. “Sekarang aku lagi re-blooming, dan sebenernya ingin musikku jadi teman buat perempuan lain yang juga sedang nyari dirinya lagi. Kayak flamingo yang dapet sayapnya kembali, aku juga lagi belajar dapat ‘pingback’ diriku yang dulu.”

Pada akhirnya, di tahun 2025, ia menuliskan bab baru sebagai perempuan yang menemukan kekuatan dari kerentanananya. Fase baru ini melahirkan proyek sederhana bersama Putri, rekan lamanya dari Dua Kata. Mereka menyempatkan satu hari seminggu untuk bermain musik, merekam cover, dan menulis lagu. “Awalnya cuma iseng, pengen main musik lagi. Tapi dari situ muncul ide bikin akun TikTok, supaya orang tahu kita masih berkarya. Musik ini jadi pelarian setelah seharian kerja dan jadi ibu,” tuturnya.
Pada awalnya ia dan Putri menamakan Sepulang Kerja, namun dengan beberapa pertimbangan, akhirnya mereka menggantinya dengan Moss and Wine Music. Menurutnya, proyek ini adalah representasi dari keseharian yang jujur, semacam perayaan dua perempuan yang menyempatkan waktu di antara rutinitas yang tidak bisa ditinggalinya. Dari sana lahir sebuah musik baru; potongan melodi yang lahir di tengah kelelahan. Musik ini bertajuk Lamun.
Langkah dan Harapan Seorang Perempuan
“Banyak ruang di Depok yang nggak inklusif, terutama buat perempuan. Aku pengennya sih ada ruang non-smoking, yang ramah anak, yang bikin musisi perempuan bisa tampil tanpa takut,” ucapnya menyatakan realitas ruang musik di kotanya. Ia mempercayai bahwa Depok masih punya banyak talenta yang tak kalah dari kota lain, hanya saja belum punya sistem dan ruang yang mendukung. “Studio banyak, tapi tempat showcase yang proper masih minim. Padahal seniman di sini tuh banyak banget, cuma karena mungkin Jakarta-sentris jadinya tenggelam.” Meskipun ia telah tergabung dengan gerakan Sisterhood Gigs yang menyuarakan ruang aman bagi musisi perempuan, Ia tetap menginginkan Depok punya panggung yang benar-benar dimiliki warganya, sehingga ekosistem seninya juga tumbuh.
Kini, Azalea sedang menyiapkan diri untuk kembali konsisten dalam berkarya. Ia tetap membawa kembali biola yang dulu jadi instrumen pertamanya, dan menulis lagu-lagu yang lebih jujur, lebih matang. “Aku nggak mau ngoyo kayak dulu. Aku cuma pengen orang tahu, aku masih di sini, masih berkarya. Kalau kamu lagi di fase yang sama, intinya kamu nggak sendirian,” katanya menutup obrolan kami sore itu.
Musik dan denyut kehidupan berjalin erat, tak terpisahkan dalam hidupnya sekarang. Nada-nada tetap mengalun lembut dari sentuhan kepekaan seorang ibu yang merawat jiwanya, sementara ketulusan seorang musisi membesarkan asa dalam buaian irama. Di persimpangan sunyi itu, tersadari kisah Azalea melampaui gemerlap panggung dan deretan lagu. Semua ini pada akhirnya tentang keberanian untuk tumbuh; dari ruang yang baginya hanya “sepetak kamar”, dari kota yang luput dari peta hiruk pikuk industri, tetap, keyakinan itu bergema pasti. Setiap nada yang lahir dari hati, niscaya akan menemukan jalan pulangnya, menyapa pendengar yang menanti.





