Dalam perayaan Record Store Day tahun ini, sebuah kolaborasi unik hadir lewat album Ambient Is Shit! yang membongkar batasan-batasan estetika dalam genre ambient. Menggandeng 4 seniman: Bottlesmoker, Nissal Berlindung, Manshur Zikri, dan Theo Nugraha.
Ambient Is Shit! adalah sebuah split album yang mengkritik kesan umum tentang ambient sebagai latar suara yang netral dan menyenangkan. Alih-alih menyajikan harmoni yang damai, album ini justru menghidupkan kegaduhan, ketidakteraturan, dan suara-suara keseharian yang kerap diabaikan. Melalui teknik field recording, para seniman menangkap realitas mentah tanpa filter seperti suara renovasi rumah, mesin kasir, atau suara gaduh speaker masjid menjelang maghrib.
Ambient Is Shit! telah dirilis bersamaan di dua halaman Bandcamp, BUNYI Sound-Archive Project dan GELOMBANG Audiozine.
Proyek ini berangkat dari semangat Situationist Under-Record, sebuah inisiatif seniman yang didirikan oleh Theo Nugraha, Manshur Zikri, dan KLMRM. Situationist Under-Record menjadi ruang eksperimen yang memusatkan perhatian pada bunyi sebagai medium seni. Berbasis pada suara keseharian, inisiatif ini bekerja sama dengan seniman maupun warga biasa untuk mengubah momen-momen ‘tak terdengar’ menjadi karya audio yang menggugah: merekam suara-suara yang biasanya tidak dianggap sebagai ‘musik’ atau jarang diperhatikan.
Album Ambient Is Shit! juga menawarkan bonus menarik: sebuah zine digital berjudul Situationist Under-Record Edition 2. Ditulis oleh Prashasti W. Putri, Dalu Kusma, dan Harlan Boer, zine ini memperluas refleksi tentang bunyi, situasi, dan realitas sehari-hari.
Keindahan bunyi justru harus dibongkar hingga ke tingkat paling mendasar: bunyi sebagai kebenaran itu sendiri—sebagai pusat estetika.
zine situationist under-record edition 2

Helmi Rafi Jayaputra (Depok, 1996) mengambil langkah baru dengan mendirikan Kolase Kultur, sebuah media alternatif di Depok yang berfokus pada seni dan budaya. Kolase Kultur hadir sebagai platform yang menjembatani berbagai ide dan gagasan serta menjadi ruang kolaborasi inklusif antara seniman, kurator dan komunitas. Sebelumnya Helmi bekerja selama 9 tahun sebagai pembuat video dan menyelesaikan beragam proyek dokumenter di berbagai kelembagaan non-profit, diantaranya; Penabulu Foundation (2015) dengan isu mengurangi tingkat emisi karbon dunia, Human Rights Working Group (2018) dengan isu Kebebasan Beragama dalam Hak Kemanusiaan, Sawit Watch (2021) dengan isu perhutanan sosial dan konservasi sawit, dan Pandu Laut Nusantara (2024) dengan isu konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Di ranah perfilman, Helmi terlibat dalam INDICINEMA, jaringan bioskop alternatif Indonesia yang berpusat di Bandung. Sejak 2019, ia turut mendirikan dan mengelola satu-satunya bioskop alternatif di Depok. Saat ini aktif membangun dan menulis di Kolase Kultur.
Tinggalkan Balasan