Make your inbox happier!

Subscribe to Our Newsletter

Depok, Adakah Kiranya Tempat Karyaku Bernaung?

Di tengah berkembangnya kota Depok sebagai salah satu pusat aktivitas urban di Jabodetabek, sektor kesenian tampaknya masih belum mendapatkan perhatian yang layak. Depok—seperti banyak di kota lainnya—tak memiliki fasilitas penunjang multidisiplin kesenian yang aksesibel untuk semua kalangan. Rupanya ini tantangan turun-temurun dan nampaknya tak pernah terselesaikan bagi para seniman yang terus berupaya mencari tempat singgah …

Di tengah berkembangnya kota Depok sebagai salah satu pusat aktivitas urban di Jabodetabek, sektor kesenian tampaknya masih belum mendapatkan perhatian yang layak. Depok—seperti banyak di kota lainnya—tak memiliki fasilitas penunjang multidisiplin kesenian yang aksesibel untuk semua kalangan. Rupanya ini tantangan turun-temurun dan nampaknya tak pernah terselesaikan bagi para seniman yang terus berupaya mencari tempat singgah untuk karya-karyanya. Sebagai warga yang baik, saya mencoba merangkai opini tentang krisis ruang seni di Depok dalam 5 bagian berdasarkan hasil pengamatan dan observasi saya selama tinggal di kota Depok.

Minimnya Infrastruktur dan Kebijakan yang Mendukung

Depok tidak memiliki banyak ruang seni yang dikelola dengan serius oleh pemerintah atau institusi budaya. Tidak seperti Jakarta yang memiliki Taman Ismail Marzuki (TIM), ya, Depok tetap memiliki taman-taman yang setiap minggu pagi selalu dipakai untuk barisan lansia senam dan olahraga, atau Taman Musik yang sering kali didapati gerbang tergembok dengan dalil buka di jam kerja saja, atau Depok Open Space yang lokasinya tidak strategis, persis di depan balaikota yang memperlihatkan kemacetan jalan margonda, atau Gedung Kesenian Depok yang baru 2 tahun lalu dihancurkan karena belasan tahun mangkrak dan sering dijadikan tempat mesum. Terlepas dari ruang-ruang yang dibuat oleh swasta dan swadaya komunitas itu sendiri, Depok masih kekurangan ruang untuk pertunjukan seni, tempat pameran, layar alternatif, atau tempat penyelenggaraan yang benar-benar dirancang sebagai ruang ekspresi yang aksesibel bagi semua kalangan.

Minimnya infrastruktur ini berimbas pada ekosistem seni dan budaya lokal. Para seniman dan komunitas di Depok sering kali kesulitan menemukan ruang yang layak. Bagi mereka yang tidak memiliki ruang bernaung, terpaksa menyewa tempat komersil dengan biaya tinggi atau mengandalkan ruang-ruang swadaya dan tidak selalu memadai secara fasilitas. Nuroji Anggota Komisi X DPR RI periode 2019-2024 via Radar Depok pernah melontarkan sorotan kepada Taman Musik,

“Taman Musik seharusnya menjadi ruang publik yang terbuka bagi semua kalangan masyarakat,” ujarnya. Saya pribadi pun pernah mencoba menghubungi rekan saya di disporyata untuk menanyakan perihal skema perizinan menggunakan fasilitas Taman Musik yang akhirnya diarahkan untuk mengirimkan pesan melalui instagram @budpardepok. Sampai artikel ini terbit, belum ada tuh respon dari admin.

Foto: Pedagang Kaki Lima di depan Taman Musik Depok via lantang.id

Kebijakan pemerintah daerah belum sepenuhnya mendukung perkembangan seni dan budaya (Lihat di JDIH Kota Depok). Alih-alih menyediakan kemudahan dalam penyelenggaraan acara seni, banyak pelaku seni justru menghadapi berbagai hambatan yang klise. Apalagi kalau bukan administratif, perizinan yang rumit dan birokrasi yang ‘lempar-lemparan’. Kurangnya perhatian terhadap sektor ini juga terlihat dari minimnya program-program yang tidak melibatkan seniman sebagai tenaga ahli dan memberdayakan komunitas seni secara berkelanjutan. Seringkali komunitas dieksploitasi tuk sekadar ‘meramaikan’ workshop dan pelatihan yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Apalagi program pendanaan atau hibah bagi para pelaku seni lokal, rasanya hampir tidak mungkin terjadi.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa komunitas di Depok berusaha mengisi kekosongan ini dengan menginisiasi ruang-ruang alternatif. Misalnya, kedai kopi yang dijadikan tempat pemutaran film atau ruang organisasi seni nirlaba seperti Studio Hanafi yang memang aktif sedari dulu dalam residensi seniman lokal. Namun, tanpa dukungan yang lebih sistematis dari pemerintah dan institusi terkait, keberlanjutan inisiatif-inisiatif ini sering kali bergantung pada sumber daya yang terbatas dan semangat komunitas itu sendiri.

Dominasi Ruang Komersial

Sebagian besar ruang publik di Depok lebih banyak difokuskan pada fungsi komersial, seperti mall, kafe, dan pusat perbelanjaan. Akibatnya, para pelaku seni sering kesulitan menemukan tempat yang bisa digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan seni tanpa terbebani biaya sewa yang tinggi.

Ketergantungan pada ruang-ruang komersial juga membatasi kebebasan para pelaku seni dalam hal penyelenggaraan. Banyak kegiatan yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang kurang ideal, di mana aspek bisnis lebih dominan dibanding tujuan seni itu sendiri. Hal ini rasanya membuat mereka sulit berkembang secara organik karena selalu berhadapan dengan batasan dan kepentingan ekonomi pemilik ruang.

Kurangnya Dukungan dan kesadaran Masyarakat

Keberlanjutan kegiatan seni di Depok masih bergantung pada semangat kolektif yang sering kali terkendala keterbatasan dana, jaringan, dan aksesibilitas. Realita kesadaran masyarakat terhadap pentingnya seni pun masih rendah. Banyak yang menganggap kegiatan seni sekadar asyik-asyikan, bukan bagian integral dari pembangunan sosial dan intelektual. Akibatnya, dukungan terhadap pelaku seni sering kali bersifat sporadis.

Justru meningkatkan edukasi dan sosialisasi mengenai peran seni dalam kehidupan masyarakat bukan hal yang mudah. Program-program seperti lokakarya seni, festival budaya, dan pertunjukan publik yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat itu pun belum cukup. Menurut saya harus ada upaya yang kolaboratif dan konsisten mewujudkan kesadaran tersebut dari pendidikan multikultural sejak dini, kolaborasi komunitas seni, peran media di berbagai platform, dan lain sebagainya. Pemkot Depok, ayolah buat kebijakan yang progresif.

Fragmentasi Komunitas Seni

Meskipun ada banyak komunitas kesenian dan budaya, mereka masih berjalan sendiri-sendiri dan belum memiliki wadah yang kuat untuk bersinergi. Tanpa ruang yang jelas, banyak inisiatif kreatif yang akhirnya terhenti atau tidak berkembang dengan maksimal.

Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya jaringan yang bisa menghubungkan berbagai komunitas seni di Depok. Banyak komunitas yang memiliki visi serupa, tetapi sulit berkolaborasi karena tidak adanya wadah yang dapat menjembatani komunikasi dan kerja sama antara mereka. Hal ini menyebabkan beberapa potensi yang dimiliki oleh para pelaku seni di Depok menjadi kurang termanfaatkan secara optimal.

Untuk mengurangi fragmentasi ini, saya bersama teman-teman menginisiasi terbentuknya Kolase Kultur dan berupaya membangun ekosistem kesenian yang lebih solid, baik melalui platform digital maupun (kedepannya) ruang fisik yang dapat menjadi titik temu bagi pelaku seni.

Kurangnya Ruang Yang Inklusif

Menjadi permasalahan hampir di seluruh Indonesia, bahwa ruang seni dan budaya yang ada belum benar-benar terbuka untuk semua kalangan. Faktor ekonomi, aksesibilitas kaum difabel, diskriminasi gender, serta minimnya program yang mengakomodasi kelompok-kelompok minoritas, marjinal dan rentan menjadi tantangan tersendiri dalam menciptakan ekosistem seni yang inklusif. Padahal, kebutuhan akan ruang ini dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: setiap orang tanpa terkecuali berhak ikut serta dalam kegiatan kebudayaan.

Untuk menciptakan ruang seni yang benar-benar inklusif, diperlukan pendekatan yang lebih partisipatif dalam perencanaan dan pengelolaan. Pemerintah dan komunitas seni sebenarnya dapat bekerja sama untuk menyediakan ruang yang lebih ramah bagi berbagai kelompok masyarakat, baik dalam bentuk fasilitas aksesibilitas untuk kaum difabel, maupun kegiatan yang melibatkan lebih banyak lapisan sosial. Dengan demikian, seni tetap menjadi medium yang dapat diakses oleh semua kalangan, tanpa terkecuali.

Helmi Rafi J

Helmi Rafi J

Helmi Rafi Jayaputra (Depok, 1996) mengambil langkah baru dengan mendirikan Kolase Kultur, sebuah media alternatif di Depok yang berfokus pada seni dan budaya. Kolase Kultur hadir sebagai platform yang menjembatani berbagai ide dan gagasan serta menjadi ruang kolaborasi inklusif antara seniman, kurator dan komunitas. Sebelumnya Helmi bekerja selama 9 tahun sebagai Creative Generalist dan menyelesaikan beragam proyek dokumenter di berbagai kelembagaan non-profit, diantaranya; Penabulu Foundation (2015) dengan isu mengurangi tingkat emisi karbon dunia, Human Rights Working Group (2018) dengan isu Kebebasan Beragama dalam Hak Kemanusiaan, Sawit Watch (2021) dengan isu perhutanan sosial dan konservasi sawit, dan Pandu Laut Nusantara (2024) dengan isu konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Di ranah perfilman, Helmi terlibat dalam INDICINEMA, jaringan bioskop alternatif Indonesia yang berpusat di Bandung. Sejak 2019, ia turut mendirikan dan mengelola satu-satunya bioskop alternatif di Depok. Saat ini aktif membangun dan menulis di Kolase Kultur.
Keep in touch with our news & offers

Subscribe to Our Newsletter

What to read next...

Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *