Make your inbox happier!

Subscribe to Our Newsletter

Perkara Records Mendukung Korban Banjir Sumatera Lewat Rilisan Kaset

Di tengah bencana banjir dan longsor melanda Sumatera, respons negara kerap terdengar seragam. Janji yang diulang, pernyataan saling bertabrakan, dan kebiasaan menyalahkan keadaan. Dilansir dari berbagai berita seperti Kompas, BBC dan Tempo, menunjukkan bahwa negara terlalu lamban dalam menangani bencana, bahkan kini tengah semakin parah, dilihat dari terus bertambahnya angka korban jiwa. Organisasi masyarakat sipil …

Di tengah bencana banjir dan longsor melanda Sumatera, respons negara kerap terdengar seragam. Janji yang diulang, pernyataan saling bertabrakan, dan kebiasaan menyalahkan keadaan. Dilansir dari berbagai berita seperti Kompas, BBC dan Tempo, menunjukkan bahwa negara terlalu lamban dalam menangani bencana, bahkan kini tengah semakin parah, dilihat dari terus bertambahnya angka korban jiwa. Organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI, Amnesty Indonesia, dan juga Walhi turut mendesak negara untuk menetapkan kondisi darurat, hanya saja hal itu belum pernah digubris. Selain itu juga, perhatian publik diarahkan pada pemolesan citra, bukan pada perlindungan lingkungan dan rakyat yang terdampak. Dalam kondisi semacam ini, solidaritas justru lahir dari ruang-ruang kecil, yang jarang kita lihat, salah satunya di skena musik Depok.

Perkara Records, sebuah label rekaman independen di Depok yang berlandaskan Do-it-Yourself (DIY) membuat kampanye pra-pesan kaset Mixtape Compilation Slowsistency #1. Mereka menyatakan bahwa seluruh keuntungan penjualan kaset akan didonasikan kepada korban banjir dan longsor di Sumatera. Rilisan ini dicetak sekali dan telah berakhir. Berisikan 10 materi band yang sebelumnya tampil di acara Perkara Show #1: SlowSistency.

Mengenal Perkara Records Sebagai Ruang Kolektif di Depok

Perkara Records didirikan oleh Gilang bersama rekan sesama personil band, Kiki. Mereka berangkat dari keisengan dalam menyediakan wadah rilis untuk bandnya sendiri. “Biar keren aja ada embel-embel records label,” ujar Gilang. Kebiasaannya digging band-band yang dianggap khalayak aneh, malah membuat Perkara berkembang menjadi ruang kolektif.

Rilisan mereka dimulai dari Taktis, band eksperimental yang membuat arah label ini menjadi non-profit (tidak mengejar pasar) dan fokus pada penciptaan ruang kolektif. Meski sempat vakum beberapa lama, kini Gilang menghidupkan kembali Perkara dan mencoba mengutamakan rilisan band asal Depok. 

Foto bersama setelah gelaran Perkara Show #1: SlowSistency. (Dok. Perkara Records)

Gigs bertajuk Perkara Show #1: SlowSistency yang telah dilaksanakan pada bulan oktober 2025 silam, terdiri dari beberapa band; Zebra, Visuc, dan Italian Bed, perwakilan band Depok diisi oleh Hasss dan Fortified. Italian Bed, band hardcore punk asal Yogyakarta ini tengah menjalani rangkaian tur panjang, kota Depok menjadi panggung penutup sebelum mereka berangkat ke Hong Kong.

“Jadi waktu itu, Italian Bed sedang melaksanakan ibadah tour. Mereka ngontak gue pengen banget main di Depok. Langsung gue ‘Iyain’, karena ini adalah momen penting,” ucap Gilang.

Inisiatifnya ini tak harus menunggu semacam legitimasi besar. Cukup dengan jaringan pertemanan dan giat-giat “ke-DIY-an” yang biasa dilakukan, secara kolektif mampu membangun ekosistemnya sendiri. Ke depan, Perkara Show selanjutnya telah direncanakan sebagai pesta perilisan split album dua band, menunggu momen yang tepat sebelum atau sesudah tahun 2026.

Ketika negara dianggap gagal hadir secara utuh, kolektif ini memperlihatkan bahwa musik dapat dijadikan sikap dalam menghadapi situasi yang makin hari kian terpuruk. Apalagi, ketika membicarakan kota Depok. Kondisi yang tak bisa dilepaskan dari konteks Depok sebagai kota penyangga yang kerap dipinggirkan secara kultural.

Helmi Rafi J

Helmi Rafi J

Helmi Rafi Jayaputra (Depok, 1996) mengambil langkah baru dengan mendirikan Kolase Kultur, sebuah media alternatif di Depok yang berfokus pada seni dan budaya. Kolase Kultur hadir sebagai platform yang menjembatani berbagai ide dan gagasan serta menjadi ruang kolaborasi inklusif antara seniman, kurator dan komunitas. Sebelumnya Helmi bekerja selama 9 tahun sebagai Creative Generalist dan menyelesaikan beragam proyek dokumenter di berbagai kelembagaan non-profit, diantaranya; Penabulu Foundation (2015) dengan isu mengurangi tingkat emisi karbon dunia, Human Rights Working Group (2018) dengan isu Kebebasan Beragama dalam Hak Kemanusiaan, Sawit Watch (2021) dengan isu perhutanan sosial dan konservasi sawit, dan Pandu Laut Nusantara (2024) dengan isu konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Di ranah perfilman, Helmi terlibat dalam INDICINEMA, jaringan bioskop alternatif Indonesia yang berpusat di Bandung. Sejak 2019, ia turut mendirikan dan mengelola satu-satunya bioskop alternatif di Depok. Saat ini aktif membangun dan menulis di Kolase Kultur.
Keep in touch with our news & offers

Subscribe to Our Newsletter

What to read next...

Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *