Dalam perayaan musik ThePopstival Vol. 1 yang diadakan pada 30 November 2025, ada satu momen yang menggetarkan hati dari sekadar selebrasi musik. Dalam riuh ruang auditorium Bumi Wiyata, sebuah layar di atas panggung menampilkan teks besar bertuliskan “TUTUP TPL”. Semakin mendekat di keramaiannya, contrabass yang jarang sekali nampak, kini terasa di telinga dentumannya, musik-musik rock …
Paman Rocky, Satu-satunya Band Depok yang ‘Aware’ pada Gerakan Tutup TPL di Sumatera

Dalam perayaan musik ThePopstival Vol. 1 yang diadakan pada 30 November 2025, ada satu momen yang menggetarkan hati dari sekadar selebrasi musik. Dalam riuh ruang auditorium Bumi Wiyata, sebuah layar di atas panggung menampilkan teks besar bertuliskan “TUTUP TPL”. Semakin mendekat di keramaiannya, contrabass yang jarang sekali nampak, kini terasa di telinga dentumannya, musik-musik rock era 50-an pun terdengar nyaring. Dalam benak, ada toh ya musisi lokal kita yang sadar sama konflik agraria di Sumatera selain bencana ekologis yang terjadi.
Mereka itu adalah Paman Rocky, band lokal Depok sang penyeru solidaritas untuk Masyarakat Adat yang tengah mengalami berbagai bentuk pengusiran dan kekerasan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) di wilayah Sumatera.

Grup musik berformat trio ini diisi oleh Jack (vokal, gitar), Abrar (gitar), dan Olfand (kontrabas). Sebelum Thepopstival, mereka sudah tampil di berbagai gigs Depok lainnya, seperti Sound of Freeday dan Mambrak Maur. Tahun 2024, unit indie rock ini telah meluncurkan beberapa lagu berlabelkan Startdust Records, diantaranya EP berjudul Pesta Realita dan tiga single; Mr. Junkies, 03.33, dan Bersepeda. Dari tulisan Pophariini, mereka mengaku terbentuk secara tak sengaja saat sedang mencipta ruang-ruang bermusik. Gaya mereka terinspirasi oleh Tielman Brothers yang kemudian mereka kemas ulang dengan sentuhan kontemporer.
Di tengah ekosistem musik kota yang perlahan tumbuh, isu masyarakat adat tak lazim menjadi materi di sebuah panggung, atau pula percakapan sehari-hari. Oleh karena itu, keberpihakannya terhadap masyarakat adat menjadi langkah yang penting untuk terus menyuarakan isu-isu yang jarang terdengar apalagi dalam perayaan musik yang kerap membuat kita terlena dan lupa pada realitas yang lebih besar.
Memahami Singkat Konteks Gerakan Tutup TPL
Dilansir dari berbagai berita seperti Kompas, Tempo dan Mongabay, salah satu masyarakat adat yang disorot dalam gerakan tutup TPL adalah Sihaporas. Situasi mereka jauh lebih buruk dari apa yang banyak orang kira. Selama puluhan tahun, PT TPL merampas tanah adat, melakukan penyerangan fisik, membakar rumah warga, menghancurkan gubuk pertanian, dan bahkan telah mengisolasi akses warga menuju ladang.
Pada 22 September 2025, ratusan orang berseragam dan bersepatu lars datang secara tiba-tiba memasuki lahan warga. Tidak pandang bulu, mereka menyerang brutal. Puluhan masyarakat adat mengalami luka-luka, termasuk anak disabilitas dan perempuan lansia.
“Kami pada saat itu hanya berjumlah tak sampai 50 orang mempertahankan tanah adat kami. Orang-orang tidak dikenal itu menyerang, dan banyak perempuan lanjut usia dan bapak-bapak tua yang mempertahankan tanah adanya yang jadi korban.” Arga Ambarita, warga Sihaporas yang diwawancarai oleh Mongabay.
Tiga minggu setelah penyerangan itu, akses jalan satu-satunya menuju ladang dan kebun dirusak dengan cara penggalian lubang sepanjang 7 meter dan sedalam 3 meter. Masyarakat adat dikurung dalam wilayah mereka sendiri sehingga tidak bisa melanjutkan berbagai aktivitas sehari-sehari untuk kehidupan.
Mengapa Sikap Paman Rocky Penting dalam Skena Musik Depok?
Meski gerakan tutup TPL telah menjadi perhatian di kalangan organisasi masyarakat sipil, ia belum banyak dibicarakan di ruang-ruang kesenian. Suara publik masih minim. Di Depok melalui pertanyaan-pertanyaan singkat yang kami lakukan kepada penonton musik, banyak orang yang tidak tahu singkatan TPL, beberapanya pula belum pernah mendengar nama “Sihaporas”, apalagi informasi bahwa terdapat 1.345 hektare tanah adat yang masuk wilayah konsesi PT TPL, pekerja yang membawa perlengkapan layaknya aparat tempur dan perempuan, mahasiswa, hingga anak disabilitas yang menjadi korban kekerasan.
Konflik masyarakat adat terus berlanjut sejak konsesi diberikan pemerintah kepada PT TPL pada 1990. Berbagai laporan menyebut bahwa warga menghadapi perampasan lahan, kriminalisasi, dan kekerasan yang berulang. Menurut KontraS Sumut, sepanjang Maret 2024 sampai September 2025, setidaknya ada tujuh kali letusan konflik di tanah adat yang diklaim oleh PT TPL,
“Negara melihat, tahu dan tetap diam. Ini bukan lagi konflik agraria biasa, tapi sudah jadi pembiaran terstruktur,” Ujar Delima Silalahi, aktivis dan peneliti masyarakat adat.
Di Depok, kota yang budaya seninya tengah berkembang, suara semacam ini masih langka. Dalam perayaan musik ThePopstival menunjukkan bahwa musisi lokal mampu menyentuh isu-isu yang lebih besar. Intinya, akhir tahun ini, kita dianugerahi musik sebagai medium pengingat bahwa masih ada masyarakat kita yang sangat membutuhkan dukungan banyak pihak. Mereka berjuang dari bencana ekologis, mereka berjuang merawat kewarasan di tengah “kegilaan”, mereka berjuang mempertahankan tempat hidupnya, tempat yang sedari dulu turun temurun diwariskan leluhur.





