Pada awal 2025, Pemerintah Kota Depok tampak aktif di sejumlah acara besar seperti Pawai Budaya Nusantara dalam rangkaian Lebaran Depok 2025. Wali Kota dan Wakilnya hadir memimpin, meresmikan, dan menyapa para penonton. Berbagai sorotan media memperlihatkan mereka tampil di panggung budaya maupun perayaan tradisional. Namun, keterlibatan mereka di ruang-ruang seni dan pameran terasa minim, bahkan …
Pemerintah Kota Depok Kembali Absen di Kegiatan Kesenian

Pada awal 2025, Pemerintah Kota Depok tampak aktif di sejumlah acara besar seperti Pawai Budaya Nusantara dalam rangkaian Lebaran Depok 2025. Wali Kota dan Wakilnya hadir memimpin, meresmikan, dan menyapa para penonton. Berbagai sorotan media memperlihatkan mereka tampil di panggung budaya maupun perayaan tradisional. Namun, keterlibatan mereka di ruang-ruang seni dan pameran terasa minim, bahkan nyaris tak pernah terdengar. Tanpa data yang jelas mengenai kehadiran pejabat dalam pameran seni yang diinisiasi warga, sulit juga mengukur sejauh mana dukungan konkret pemerintah terhadap para seniman lokal.
Gambaran yang muncul sekarang, Pemkot lebih mengedepankan pendekatan budaya seremonial semata. Mereka nyaman bermukim di Margonda ketimbang hadir secara konsisten di luar balai, seperti mengunjungi galeri, berdialog dengan seniman, atau memberi dukungan pada kegiatan di luar acaranya sendiri Melalui akun instagram Bidang Pariwisata (@budpardepok), yang terlihat keluar dari zona mereka hanya konten-konten mempromosikan ruang publik. Salah satunya mereka bilang bernuansa heritage. Di situ mereka tak memberikan keterangan terkait sejarah heritage yang dimaksud, kapan dibangun, atau mengapa penting secara budaya. Kelihatannya, sih.. ngopi-ngopi cantik aja.
Ketidakhadiran Pemerintah di Pergelaran Kesenian Depok
Sabtu sore, 9 Agustus 2025, Galerikertas Studiohanafi dipenuhi percakapan hangat, tepuk tangan, dan tatapan yang larut dalam karya-karya Ajiba di pameran tunggal Merangkai Luang—Hingga Lapang. Ajiba, seniman tekstil lulusan Magister Seni Rupa ITB, mengolah kawat menjadi tenunan rapuh namun lapang. Sebuah metafora untuk trauma dan kemampuan manusia merangkai kembali dirinya.
Hadir seniman, kurator, jurnalis, dan penikmat seni. Tapi, sekali lagi, ada yang hilang: Pemerintah Kota Depok. Kami tidak menemukan satupun pejabat bahkan perwakilan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporyata). Tidak ada ucapan selamat, apalagi dialog dengan seniman. Padahal, pameran ini jelas bagian dari denyut kebudayaan kota yang seharusnya mereka dukung.
Ironisnya, hanya berselang beberapa pekan dari absennya di Galerikertas, Pemkot Depok gencar mempromosikan Depok Satnight Sounds, program panggung musik mingguan di Depok Open Space (DOS), kawasan Balai Kota, yang diklaim sebagai “dukungan terhadap industri kreatif dan semangat berkarya generasi muda.”
Dalam konteks panggung musik, Apakah Depok Satnight Sounds benar-benar berakar dari kebutuhan ekosistem musik lokal Depok yang selama ini terpinggirkan? atau jangan-jangan hanya panggung pencitraan belaka? Saya telah mengurainya di sini: Depok Satnight Sounds di Depok Open Space: Panggung Musisi atau Panggung Pencitraan Politik?
Realita kebudayaan di kota Belimbing ini sering kali terpinggirkan di balik isu transportasi, perumahan, dan ekonomi yang juga menuai masalah. Ketidakhadirannya menunjukkan dua hal: minimnya apresiasi terhadap potensi budaya lokal dan kosongnya visi untuk mengintegrasikan seni dalam pembangunan kota. Kehadiran mereka semestinya menjadi bentuk legitimasi bahwa seni dan budaya diakui sebagai pilar kehidupan warga. Padahal ruang-ruang seni seperti Galerikertas sangat berpotensi menjadi pusat pertemuan ide, kreativitas, dan jejaring yang memperkaya identitas kota.
Saya bertanya kepada Kasia salah satu anggota Galerikertas Studiohanafi, mengapa Pemkot tidak hadir?
“Bilangnya sih akan datang, tapi terus diganti, yang akan datang katanya dari Disporyata, sampai saat ini belum kelihatan. Jadinya tadi dibuka tanpa ada mereka,” ujarnya.
Sejak 2018, Galerikertas konsisten mengadakan pameran, program residensi, dan diskusi seni. Mereka pernah menampilkan karya seniman terkemuka seperti Ugo Untoro, Farhan Siki, dan Hanafi sendiri. Semua itu dilakukan secara mandiri, tanpa dukungan berarti dari pemerintah.
Dalam pergerakan musik di Depok kini sudah cukup terlihat bagaimana komunitas lokal mampu menciptakan program berkualitas, menghadirkan musisi dari luar kota, dan menarik publik yang banyak untuk datang. Tetapi keberhasilan-keberhasilan ini sepertinya tidak menyadarkan mereka bahwa terdapat potensi untuk membangun sinergitas.
Antara Enggan Menjalankan Tugas vs. Malas Evaluasi dan Berbenah
Disporyata, satu-satunya Dinas yang mewadahi seni dan budaya juga sangat kentara minim pergerakannya. Mereka terlihat cuma mengurus event tahunan atau acara yang bersifat seremonial saja. Festival Keriaan Depok 2024 misalnya, cukup problematik di Youth Festival Band. Selain sepi pengunjung dan peserta band yang sedikit, tidak dijelaskan siapa jurinya pula melalui flyer. Lalu band tamu yang secara tiba-tiba tidak hadir menambah kerunyaman. Sehingga mereka memaksa peserta band yang telah tampil berlomba untuk unjuk gigi kembali dengan menjanjikan penambahan poin agar kesempatan juara makin luas.
Saya mendengar sendiri dari Corale Riff, salah satu band Depok yang mengikuti rangkaian acara tersebut. Mereka diminta untuk tampil kembali setelah panas-panasan di panggung yang tak layak itu. Corale Riff tentu saja merasa keberatan. Tapi dengan gaya militeristiknya, panitia dari Disproyata itu berucap, “Bandnya cewek semua sih, jadi ribet, susah deh kalo menang.”
Benar, Corale Riff di urutan kedua terakhir dari 8 band yang tampil. Pemenangnya jelas, salah satu band yang bersedia tampil kembali. Band pemenang tersebut juga diduga punya kedekatan terhadap juri. Cyiaaaah.
Selain harus menggantikan pola pikir patriarkinya dan membenahi panggung “busuknya”, mereka sebenarnya punya tugas utama yang kerap luput dari agenda. Pemerintah harus aktif mendatangi, memetakan, dan menghubungkan ruang-ruang seni di Depok dengan program strategis. Bagaimana bisa membuat kebijakan seni dan budaya kalau absen terus di kegiatan kesenian?
Masa Kelabu dan Alasan Absen yang Realistis
Di ranah film pun, Depok punya peristiwa pahit. Tahun 2019 sebelum pandemi, film Kucumbu tubuh Indahku karya Garin Nugroho pernah dilarang tayang di seluruh bioskop Depok. Pemerintah melalui wali kota Muhammad Idris menyatakan bahwa film itu bertentangan dengan nilai-nilai agama. Mereka bersurat ke KPI menyatakan keberatan dan sampai effort menyurati bioskop-bioskop di Depok untuk mematuhi aturan tersebut.
Bagaimana bisa selevel pemerintah menggunakan justifikasi moral dan agama untuk membatasi ruang ekspresi seni? Dengan mengklaim bahwa sebuah film “bertentangan dengan nilai agama” tanpa ruang diskusi yang baik, bukankah membuka pintu pada intoleransi dan menguatkan stigma terhadap kelompok tertentu?
Alih-alih melarang, pemerintah bisa saja memfasilitasi ruang dialog, diskusi publik, atau forum kritik film. Ini akan lebih bermanfaat dalam membangun pemahaman warga ketimbang menutup akses sama sekali.
Begitulah realitas pemangku kebijakan kita. Walau kini kita sedang dianugerahi banyak talenta dan ruang, tanpa itu semua, Depok akan terus berada di pinggiran peta kesenian Indonesia karena pemerintahnya tidak memiliki political will.
Tapi saya rasa ada alasan tersendiri absennya mereka selain kepentingan politik dan panggung pencitraan. Mungkinkah Pemerintah Kota Depok dan Disporyata sendiri tidak memiliki pemahaman yang kongkrit bahwa seni dan budaya itu bisa diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan ekonomi kreatif?






