Menikmati malam itu simpel: datang ke acara musik.

Salah satu cara mendorong keterlibatan musisi lokal, terutama mereka yang punya daya tarik kedaerahan, adalah lewat panggung yang terbuka dan juga ber-vibes “akrab”. Sound of Freeday adalah jawabannya. Bukan sekadar showcase, ini adalah ruang ekspresi yang diciptakan untuk kita, oleh kita juga—suasana yang personal, santai, dan penuh kebebasan.
Acara ini menjadi bagian dari rangkaian Lokalin—sebuah gerakan sederhana dengan pengaruh yang besar dalam menggugah komunitas musik. Jingle khasnya gampang melekat di kepala, “sound of freeeedaaaaaay… sound of freeday, freeday, freeday”, (freeday mungkin karena friday malem acaranya) nuansa acara ini terasa bonafide—serius secara niat, ringan dalam pelaksanaan.

Malam itu terasa berkesan karena akhirnya ada terdengar suara-suara yang segar. Ruang musik yang kreatif ini tentunya menunjukan Depok punya potensi untuk mengembangkan selera musik yang berkualitas. Chorale Riff membawakan lagu-lagu bernuansa filosofis, sementara Dumbhead tampil memukau lewat energi alternatif rock mereka (honestly, personal favourite of the show). Lalu datang BATDD… nontonnya sambil mlotot, speechless, literally. Seolah semua lapisan emosi dimuntahkan ke panggung, dan penonton—kita semua—menyerapnya dengan tubuh dan hati terbuka.

Aura dan vibe-nya begitu ekspresif, hangat, dan intens. Ini bukan sekadar pertunjukan; ini perayaan. Di sela-sela teriakan dan bisik-bisik kagum, terdengar satu suara yang mewakili semua perasaan malam itu:
“Jika suara itu ramai, maka Sound of Freeday adalah nyanyian jiwa.”

Ahmad Zakki “Bang Jek” Abdullah (Tasik, 1990) adalah seorang yang menyebut-nyebut dirinya mistikus yang ilmiah. Walaupun mengaku berumur masih muda, ada kecurigaan bahwa dia sebenarnya sudah berumur kepala 5. Dia merasa bahwa menulis adalah sumber agar “awet muda”. Sehari-hari mengaku sebagai pengajar di menulisfilm.com dan akhirnya sebagai sejarawan yang serba tahu dan menjadi penulis di Kolase Kultur. Tulisannya adalah gabungan antara SEO dan ekspresionis yang katanya sudah muak dengan gaya menulis jurnal ilmiah. Dia memiliki kehidupan kedua yang “normal” mengajar mahasiswa di universitas yang berlokasi di selatan Jakarta. Selain itu juga mengajar di beberapa tempat lain seperti Univ. IMA, Univ. Nasional, IDS dan Vokasi UI. Dia menawarkan diri sebagai “konsultan produksi” di bidang audio-visual, pengolah data sosial dengan metode NLP dan NVivo di bidang penelitian, pengamat AI di bidang informasi sains dan ahli komunikasi jaringan yang tersertifikasi (walau tidak pernah menunjukan sertifikatnya).
Tinggalkan Balasan