Saya menemukan diri saya terlibat dalam pengalaman sinematik yang luar biasa di acara screening film pendek yang diadakan oleh Cinema Darurat di Metro Cinema, Kemang, Jakarta. Acara screening film pendek ini tidak hanya menyajikan lima karya dengan pendekatan visual dan narasi yang unik, tetapi juga membuka ruang diskusi mendalam tentang tantangan dan keindahan dalam proses pembuatan film. Film-film yang ditayangkan menyajikan eksplorasi visual dari mimpi seorang anak hingga pasien misterius yang menjengkelkan, setiap film menyuguhkan cerita yang menggugah dan penuh makna. Lewat artikel ini, saya akan mengajak pembaca untuk menyelami pengalaman serta kisah di balik layar yang membentuk perjalanan kreatif para sineas muda Indonesia.
Acara Cinema Darurat merupakan sebuah ajang screening film pendek yang menyatukan karya-karya kreatif dari sineas muda Indonesia yang diadakan di Metro Cinema Kemang, Jakarta. Acara ini menampilkan lima film pendek dengan tema Family and Love namun dengan pendekatan visual yang beragam, memberikan gambaran tentang kekayaan cerita dan tantangan dalam proses pembuatan film.
Beberapa film yang saya tonton saat menghadiri pemutaran yang diadakan oleh Cinema Darurat antara lain:

The Boy Who Dreamead Lightning (2023) Sutradara: M Rafflie Maulana
Mengisahkan seorang anak yang bermimpi tentang pohon yang disambar petir. Mimpi tersebut pada awalnya merefleksikan keinginan terdalam yang belum sepenuhnya dipahami oleh sang anak, di mana pohon dan petir menjadi simbol dari keinginan yang abstrak dan kompleks.

Si Met Anak Kuliahan (2019) Sutradara: Adam Wiradi Arif
Bercerita tentang seorang ayah yang berjuang menghadiri wisuda anaknya. Di tengah konteks modernitas Jakarta, sang ayah harus menghadapi berbagai tantangan modernitas termasuk menghadapi transportasi umum, mencerminkan benturan antara nilai tradisional dan kehidupan kota yang dinamis.

Will Today Be A Happy Day (2025) Sutradara: M Kanz Daffa
Menggambarkan kehangatan hubungan antara ibu dan anak melalui serangkaian momen sederhana namun penuh makna, seperti kebersamaan dalam berkegiatan dan perjalanan yang dilakukan seharian penuh mulai dari bangun pagi, bermain di taman, pergi ke sirkus malam, menggunakan transportasi umum. Lalu film ini mempertanyakan sekaligus menjawab hari yang bahagia tersebut.

Kencan Pertama (2022) Sutradara: Hasan Faizal
Menonjolkan eksplorasi visual melalui dialog yang berlangsung dalam bahasa Jawa, film ini mengisahkan tentang seorang pria yang mengunjungi thrift shop (toko baju bekas) dan mengalami situasi yang penuh dengan nuansa canggung namun menggelitik.

Tether (2025) Sutradara: Roufy Nasution
Mengangkat tema misteri melalui cerita penyembuhan alternatif dimana si “tukang pijit” yang digambarkan sebagai penyembuh yang memiliki kekuatan luar biasa. Ia berupaya menyembuhkan pasien, seorang yang misterius dengan latar belakang kekerasan, sekaligus membuka tabir hubungan kompleks antara karakter-karakter dalam cerita.
Acara dimulai dengan pemutaran kelima film secara berurutan, di mana setiap film menyajikan cerita dan gaya visual yang berbeda. Setelah proses screening, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi yang melibatkan para pembuat film, aktor, serta kru produksi. Diskusi ini memberikan ruang bagi mereka untuk mengungkapkan hal-hal terkait film dan juga proses kreatif yang mereka alami selama proses produksi film. Awalnya acara ini dihadiri hanya oleh 3 perwakilan dan tidak semuanya memiliki peran yang sama dalam produksi. Lalu ditengah diskusi datang perwakilan ke – 4.
Para partisipan awalnya membahas film ini dengan santai dengan penuh canda. Gambaran diskusi awal ini menunjukan bahwa memang ada hal hal yang menjadi inspirasi mereka dalam membuat film. Diskusi menggambarkan keinginan untuk menyajikan film yang bermakna dan perlunya membuat film yang menghibur. Selain itu, terdapat momen-momen lucu dari anekdot dalam inspirasi dan juga lokasi produksi. Namun setelah beberapa lama, saya sebagai pendengar ingin menyelami hal-hal lain dalam produksi film tersebut. Saya bertanya 3 hal kepada semua perwakilan yaitu
- “Film yang baik merupakan film yang penuh dengan masalah.” bagaimana tanggapan tentang pernyataan ini?
- Bagian atau adegan mana yang paling sulit untuk dibuat?
- Apakah ada adegan atau bagian dari film yang terasa tidak nyaman atau dipaksakan untuk dibuat?
Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya mengajak para pembuat film untuk mempertimbangkan apakah kualitas film diukur dari kemampuannya menantang norma, menghadirkan konflik atau dilema. Dengan kata lain, saya mengajak diskusi mengenai apakah sebuah film yang bagus harus mengandung elemen masalah atau kontroversi yang memicu tekanan, keterpaksaan sehingga terjadi diskusi yang mendalam. Jawaban-jawabannya cukup menarik dan mereka menjawab tidak berdasarkan urutan tetapi kesediaan masing masing. berikut komentar mereka.
Film Ke-lima (“Penyembuh dan Pasien Misterius”): Perwakilan dari film ini yang turut hadir adalah Rizaldy Bagas, penulis dari film Tether. Ia mengakui bahwa pembuatan film memang penuh tantangan, namun dia menanggapi pertanyaan ini dengan menggambarkan kesulitan yang berarti yaitu dalam dalam proses menulis. Proses penulisan memang memerlukan pendalaman dan kadang terasa sangat berat, terutama karena tema yang diangkat cukup rumit. Meskipun mereka tidak sepenuhnya setuju dengan pendekatan problematic dalam film, mereka setuju bahwa sebuah film yang bagus seringkali memang menciptakan ketegangan atau mengandung elemen yang tidak normal. Mereka mencoba membuat film yang “berbeda” (istilah yang disebutkan adalah absurd). Premis itu diawali dengan “Bagaimana kalau ada tukang pijit yang berkekuatan seperti Ponari?”-tokoh anak yang fenomenal yang dianggap bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Mereka, walaupun berhasil membuat film tersebut, ada berbagai masalah yaitu suara yang bocor karena ada suara “dangdutan”, lalu faktor cuaca yang tidak bisa diprediksi: hujan yang terjadi terus menerus. Pada akhirnya ia merasa tertipu oleh “pawang” yang telah di sewa selama proses produksi.
Komentar ini disambut gelak tawa oleh penonton, dan sebenarnya mereka tidak menghadapi masalah yang serius karena mampu melakukan syuting sehat. Penonton pun ada yang berkata “Punya banyak duit ya?” karena pada dasarnya syuting sehat itu adalah hal yang paling sulit. Film ini memang unik karena ada konsep yang sederhana tentang “cabreng” yaitu cacat tapi brengsek yang digambarkan oleh pasien dalam film tersebut dan berkembang menjadi eksplorasi visual. Salah satu pemeran film, Naufal, hadir dan menambahkan bahwa sebenarnya melakukan produksi dengan tim sangatlah menyenangkan, akan tetapi ada saja hal yang membuat dia kecewa yaitu kehilangan sendal.
“Dan sampai sekarang saya masih kecewa sama kejadian itu, kayaknya memang ada orang-orang (warga) sekitar situ yang mengambil.” Ujarnya.

Film ke-empat (“Pria dan Toko Baju Bekas”): Perwakilan dari film ini adalah sang sutradara sekaligus penulis, Hasan Faisal. Beliau satu – satunya yang datang jauh dari Demak, Jawa Tengah. Ia memberikan kesan bahwa tidak sepenuhnya puas dengan hasil akhir walaupun sempat menyukai gaya produksi dengan metode long shot-mengambil visual dengan durasi yang lama. Ada masalah dengan pilihan pengambilan gambar yang tidak sesuai dengan harapan. Mereka merasakan ketidaknyamanan ketika dihadapkan pada adegan yang mereka anggap tidak ideal, namun tetap dimasukkan dalam versi akhir film karena kebutuhan untuk menyelesaikan produksi. Dia merasa blocking kamera tidak sesuai pada beberapa adegan, salah satunya ketika pemeran melakukan adegan makan nasi goreng. Terdapat rasa tidak puas di hati Hasan, namun tetap bisa dipakai sebagai bentuk eksplorasi penceritaanya.
Film Ke-tiga (“Ibu dan Anak”): Perwakilan film ini adalah Kanz Daffa, Penulis sekaligus sutradara. Ia menyebutkan bahwa tantangan terbesar terdapat pada adegan di mana ibu dan anak harus berada di ruang publik dan mengimbangi kemauan anak untuk bisa bekerja sama selama syuting. Suatu waktu ada momen pemeran anak yang tidak mau melanjutkan syuting sehingga harus merayu-rayu sampai akhirnya ingin melanjutkan. Selain itu juga permasalahan set pada transportasi publik yang di mana terdapat larangan pengambilan gambar. “kita kan miskin ya, jadi kita nggak ada izin”. Mereka masuk ke dalam gerbong dan duduk berjauhan sambil menunggu aba-aba roll-in yang mana diawasi oleh seorang satpam, ketika petugas keamanan kereta itu pergi barulah mereka bisa melanjutkan syuting. Beberapa komentar juga disampaikan oleh pemeran utama film, Gendhis Maharany yang turut hadir, bahwa sebenarnya ia menyukai semua rangkaian proyek ini walau tetap harus mengimbangi energi pemeran anak yang sangat besar. Ia sempat kewalahan yang memerlukan bantuan dari kru untuk mengarahkan pemeran anak.
Film Ke-dua (“Syuting di Jakarta”): Awalnya mereka memiliki sebuah naskah namun perlu diubah karena dianggap susah untuk dicerna, dan mengandung kritik yang berpotensi menimbulkan masalah. Artinya ada visi yang tidak sejalan antara produser dan sutradara di proses pra-produksi. “Kita membuat film yang menyenangkan, jangan membuat penonton mikir”. Ucap Afrizal Isna sebagai produser yang hadir dalam sesi diskusi. Film ini sebenarnya dibuat dengan harapan memenangkan sebuah festival film pendek Jakarta yang bertemakan Babak Baru, sehingga bisa mendapatkan dukungan dari segenap pemerintah Jakarta. Akan tetapi hal itu justru tidak sesuai harapan. Pertama masalah izin di lokasi yang dikelola pemerintah kota seperti terminal, tranportasi umum dll dianggap bisa memudahkan dengan sebuah surat dari penyelenggara festival, namun surat itu tidak ada pengaruhnya. Akhirnya diperlukan “siasat” yang memakan biaya untuk prihal tersebut, padahal sineas merasa bahwa untuk hal-hal itu tidak perlu apalagi film ini bertujuan untuk memberikan image yang baik pada kota Jakarta yang nyaman.
Mereka tidak bisa dengan leluasa melakukan produksi hingga mereka pun kesulitan saat datangnya waktu makan-dan harus melakukan itu di toilet. Masalah izin juga terjadi di lokasi rumah yang mana dibatalkan pada satu hari sebelumnya, produser mencari lokasi pada menit-menit terakhir. Afrizal pun mengalami kurang istirahat, karena produksi tersebut selesai pukul 03.00 dini hari dan harus bangun kembali jam 06.00 esok paginya. Izin untuk syuting pada adegan kampus juga terkendala karena ternyata ada acara lain yang dilakukan bersamaan, dan juga masalah kegiatan renovasi fakultas yang kebetulan sedang berjalan. Produser sempat menghubungi rektor kampus yang pada akhirnya mendapatkan izin namun dengan meminta imbalan yaitu membuat video promosi yang menurut mereka berat untuk dilakukan. Namun film akhirnya bisa dilakukan karena mendapatkan support dari berbagai pihak termasuk para pemeran yang dianggap “senior” di bidang produksi.

Diskusi dengan para pembuat film memberikan wawasan tentang proses kreatif dan juga tantangan dalam pembuatan film. Tentu ketika mendengar langsung jawaban mereka atas pertanyaan-pertanyaan yang unik, mereka menyampaikannya penuh dengan ekspresi dan kadang berkesan was-was karena yang mereka alami sungguh sebuah pengalaman yang penuh drama, apalagi prihal syuting di tempat-tempat yang dikelola pemerintah. Sehingga mendengarkan kesan itu saya pun sepertinya ikut terbawa suasana dan menjadikan pengalaman mereka sebuah ingatan trauma untuk tidak main main dalam melakukan produksi di manapun, di kota, di rumah orang ataupun di hutan.
Pengalaman di atas mengingatkan kita bahwa syuting itu nggak gampang, ya semua-muanya di dunia ini juga tidak mudah. Mungkin agak berlebihan menyebutnya sebagai trauma, saya lebih suka dengan istilah drama karena apalah hidup ini tanpa drama?

Ahmad Zakki “Bang Jek” Abdullah (Tasik, 1990) adalah seorang yang menyebut-nyebut dirinya mistikus yang ilmiah. Walaupun mengaku berumur masih muda, ada kecurigaan bahwa dia sebenarnya sudah berumur kepala 5. Dia merasa bahwa menulis adalah sumber agar “awet muda”. Sehari-hari mengaku sebagai pengajar di menulisfilm.com dan akhirnya sebagai sejarawan yang serba tahu dan menjadi penulis di Kolase Kultur. Tulisannya adalah gabungan antara SEO dan ekspresionis yang katanya sudah muak dengan gaya menulis jurnal ilmiah. Dia memiliki kehidupan kedua yang “normal” mengajar mahasiswa di universitas yang berlokasi di selatan Jakarta. Selain itu juga mengajar di beberapa tempat lain seperti Univ. IMA, Univ. Nasional, IDS dan Vokasi UI. Dia menawarkan diri sebagai “konsultan produksi” di bidang audio-visual, pengolah data sosial dengan metode NLP dan NVivo di bidang penelitian, pengamat AI di bidang informasi sains dan ahli komunikasi jaringan yang tersertifikasi (walau tidak pernah menunjukan sertifikatnya).
Tinggalkan Balasan